BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Mazhab adalah
pendapat seseorang secara pribadi
, penilaian dan interpretasi poin sah menurut ulama dan ahli hukum . Allah dan
Nabi tidak memerintahkan kita untuk mengikuti pendapat dan interpretasi . Ada
kemungkinan yang benar atau salah dalam pendapat dan interpretasi mereka . Ada
banyak imam memiliki pandangan yang
berbeda dan mereka menjelaskan mereka sesuai dengan alasan dan spekulasi mereka
sendiri . Tapi ketika kebenaran datang ke pengetahuan mereka , mereka
mempertimbangkan kembali pendapat mereka sendiri dan menerima kebenaran .
Mereka tidak pernah terjebak dengan pendapat mereka ketika sebuah hadis benar
datang ke pengetahuan mereka .[1]
Islam hanyalah bersaksi bahwa tiada
tuhan yang Maha Esa kecuali ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SWA utusan ALLAH .
Selain itu islam hanyalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT
yaitu syahadat , sholat , puasa , zakat , dan haji jika yang mampu ( Rukun
islam ) . Apabila seseorang melakukan
hal tersebut dengan tata cara para mujtahid , maka itu hanyalah di khususkan untuk
mereka saja . Sehingga hal tersebut seharusnya tidak menjadi suatu perdebatan .
Sampai dengan masa empat khalifah
pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan
sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode
tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum
syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai
akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y.Aliran
pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan
pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah.Sedangkan aliran
kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons
persoalan baru yang muncul.Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut
merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang
sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya
bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak.[2]
Semenjak fikih islam lahir ke alam wujud
, tidak terlepas dari masa pasang naik dan pasang surutnya . Dari masa titik
pertumbuhan fikih islam berkembang
dengan suburnya hingga sampai ke puncak kejayaan dan keemasannya , tetapi
sesudah titik kesempurnaan ini , tiba pula masa beku yang membawa kemerosotan dan
kemunduran . Tentu bagi orang yang mempelajari sejarah fikih islam ingin
mengetahui apa sebabnya yang membawa fikih islam menemui masa bekunya dan apa
pula sebabnya yang mendorong fikih islam itu berkembang . Salah satuny adalah
tentang sejarah dari mazhab – mazhab dari para fuqoha yang berjaya di masanya .
Seperti halnya Maliki , Hanafi , Syafi’i , dan Hanbali . [3]
Dari pemaparan diatas , maka
kami dari penulis ingin membahas lebih dalam tentang rekontruksi atau formulasi
hukum islam yang telah terjadi di masa para mazhab terutama oleh para imam
empat mazhab .
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara para imam mazhab berinstinbat dalam
menetapkan hukum ?
2. Bagaimana Kontribusi para imam mazhab dalam
perkembangan islam ?
3.
Bagaimana Menyikapi
perbedaan diantara mazhab-mazhab ?
III.
TUJUAN DAN MANFAAT
1.
Mengetahui cara
para imam mazhab beristinbat dalam menetapkan suatu hukum
2.
Mengetahui
kontribusi para imam dalam perkembangan islam
3.
Mengetahui cara
untuk menyikapi perbedaan diantara mazhab – mazhab
BAB II
PEMBAHASAN
I.
PENGERTIAN MADZHAB
Menurut
bahasa mazhab berarti “ jalan atau tempat yang dilalui “. Mazhab juga berarti “
pendirian tau al-taqad “. Menurut istilah para faqih mazhab mempunyai dua
pengertian yaitu :
1.
Pendapat salah seorang
imam mujtahi tentang hukum suatu masalah.
2.
Kaidah – kaidah
istinbath yang dirumuskan oleh seorang Imam .
Sehingga , mazhab merupakan hasil
ijtihad dari seorang yang berkaitan dengan suatu masalah tentang hukum islam .
Menurut Abul Hasan al-Kayya , bahwa
bermazhab dengan pengertian yang pertama adalah orang awam , ahli fiqih , atau
ulama lain yang belum mencapai martabat mujtahid . Sedangkan bermazhab menurut
pengertian yang kedua itu adalah untuk ulama yang tidak sanggup merumuskan
kaidah – kaidah istinbath . Apabila mereka ingin menggali hukum untuk suatu
permasalahan , maka mereka harus bermazhab , berpegang kepada kaidah – kaidah
istinbath yang di anut oleh imamnya .[4]
Perkembangan mazhab itu sendiri
mulai muncul setelah masa sahabat
dan tabi’en . Ketika itu ada 13 aliran mazhab , yang semuanya itu tergolong
dalam mazhab ahlusunnah dan pada periode itulah kelembagaan fiqih dan pembukuan
fiqih mulai dikodifikasikan secara baik sehingga memungkinkan para pengikutnya
semakin banyak dan kokok . Namun pada perkembangan selanjutnya dari 13 belas
mazhab tersebut , hanya Sembilan mazhab yang dapat dilacak .
Sembilan
mazhab itu adalah :[5]
1.
Imam Abu Sa’id a;-hasan
bin yasar al-basri
2.
Imam abu hanifah an-nu’man
bin sabit bin zauti
3.
Imam auza’I abu amru
Abdurrahman bin amru bin Muhammad
4.
Imam sufyan bin sa’id
sa’ad
5.
Imam Al-lais bin sa’ad
6.
Imam malik bin anas
al’asbahi
7.
Imam Sufyan bin Uyainah
8.
Imam Muhammad bin idris
al-syafi’i
9.
Imam ahmad bin hanbal
Sebagaimana yang ditulis oleh Abdul
Wahab Afif , Sebab – sebab terjadinya ikhtilaf dapat terbagi menjadi 4
persoalan , antara lain :[6]
1.
Perbedaan Pemahaman
terhadap al-qur’an dan as-sunah
2.
Sebab-sebab khusus
tentang sunnah Rasul SAW ( Sanad dan matannya )
3.
Sebab-sebab yang
berkenaan dengan kaidah usuliyah atau fiqhiyyah
4.
Sebab-sebab yang khusus
mengenai penggunaan dalil diluar al-qur’an dan as-sunnah
Ketika
ingin bermazhab kepada suatu mazhab atau lebih , ada beberapa golongan yang
mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan hal tersebut :
a.
Golongan Pertama
Pada
Golongan pertama ini , mereka beranggapan bahwasannya ketika sudah berpegang
pada suatu mazhab , maka dia harus tetap berpegang teguh pada mazhabnya itu ,
sehingga tidak boleh untuk berpindah-pindah .
b.
Golongan kedua
Pada golongan kedua ini ,
beranggapan bahwa berpindah mazhab itu tidak apa-apa . asalkan itu memang baik dan tidak boleh
hanya di ambil enaknya saja .
c.
Golongan ketigas
Pada golongan ini memperbolehkan
mengambil bermacam-macam mazhab walaupun hanya di ambil enaknya saja.
II.
MACAM-MACAM MADZHAB
1. Ahl
al-sunnah wa al-jama’ah
a. Ahl
al-ra’yi
Pada mazhab ahl
al-ra’yi ini , yang digunakan adalah murni dari akal seorang mujtahid . Ulama
yang menggunakan akal ini adalah Imam Abu Hanifah . Imam Abu hanifah madalah
imam yang rasional , yang mendasarkan ajarannya dari al-qur’an dan sunnah ,
ijma , qiyas serta ihtisan
b. Ahlal-hadits
Mazhab ini lebih banyak
menggunakan hadits dalam berijtihad daripada menggunakan akal , yang penting
hadits yang digunakan itu shahih . Yang termasuk dalam mazhab ini adalah :[7]
-
Mazhab Maliki
-
Mazhab Syafi’i
-
Mazhab Hanbali
-
Mazhab Zhahirir’
2. Syi’ah
Syiah merupakan golongan yang sangat
fanatik dengan salah satu khulafaur rasyidin yaitu Ali bin Abi Thalib . Namun
setelah Ali bin Abi Thalib telah wafat , syiah terpecah belah menjadi beberapa
golongan . Golongan syiah tersebut
adalah :
-
Syi’ah Zaidiyah
-
Syiah Imamiyah
3. Mazhab
yang telah musnah
Sebenarnya banyak para fuqoha – fuqoha
yang mempunyai mazhabnya sendiri-sendiri , namun dikarenakan semakin banyaknya
umat islam yang fanatik terhadap satu mazhab , mengakibatkan banyak mazhab –
mazhab yang hilang dengan sendirinya . Diantara mazhab – mazhab yang kurang
berkembang antara lain :
-
Abu ‘Amr Abd
-
Abu Sulaiman Daud bin
Ali bin Khalaf al-Ashbahani yang terkenal dengan al-Zhahiri .
Tujuan
dan Manfaat mempelajari perbandingan mazhab :[8]
-
Untuk mengetahui
pendapat – pendapat para imam mazhab ( para imam mujtahid ) dalam berbagai
masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan yang
dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath hukum dari
dalilnya oleh mereka.
-
Untuk mengetahui
dasar-dasar dan aqidah yang digunakan setiap imam mazhab dalam mengistinbath
hukum dari dalil-dalilnya
-
Dengan memperhatikan
landasan berpikir para imam mazhab , orang yang melakukan studi perbandingan
mazhab , orang yang melakukan studi perbandingan mazhab dapat mengetahui .
III.
PERANAN IMAM-IMAM MADZHAB DALAM HUKUM ISLAM
A.
Imam
Abu Haifah
1.
Biografi
Imam Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya
Naman lengkap Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al- Nu’man bin Tsabit
Ibn Zutha al- Taimy. Lebih kenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari
keturunan Parsi, lahir di Kuffah tahun 80/699M dan wafat di Baghdad tahun tahun
150H/767M. Beliau menjalani hidup di dua lingkungan sosio politik, yakni masa
akhir dinasi Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah adalah pendiri madzhab Hanafi yang terkenal dengan “al-Imam
al-A’zham” yang berarti Imam Terbesar. Menurut suatu riwayat, ia dipanggil
dengan sebutan Abu Hanif karena ia selalu berteman dengan tinta (dawat), dan
kata Hanifah (حنيفة) menurut bahasa arab berarti “tinta”. Abu
Hanifah senariasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuna yang
diperoleh dari teman-temannya.
Kecerdasan Abu Hanifah dapat diketahui melalui pengakuan
dan pernyataan para ilmuwan, diantaranya :[9]
Ø Imam Ibn Malik pernah berkata : “Aku belum pernah melihat seorang
laki-laki lebih cerdik daripada Imam Abu Hanifah”.
Ø Imam Ali bin Ashim berkata :”Jika kiranya ditimbng akal Abu Hanifah
dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan.”
Ø Raja Harun al Rasyid berkata :”Abu Hanifah adalah seorang yang
dapat melihat dengan akalnya pada barang yang tidak dapat ia lihat dengan mata
kepalanya.”
Ø Imam Abu Yusuf berkata : “Aku belum pernah bersahabat dengan
seorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah.”
Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu
merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di Irak
terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud (wafat
63H/682M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim
Al-Nakha’i lalu Hammad Ibn Abi Sulaiman AL-Asy’ari (wafat 120H). Hammad Ibn
Sulaiman adalah seorang imam terkemuka ketika itu. Ia murid dari ‘Alqamah ibn
Qais dan al-Qadhi Syuriah. Keduanya dalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal
di Kufah dari golongan Tabi’in. Dari Hammad bn Abi Sulaiman inilah Abu Hanifah
belajar ilmu fiqih dan hadis.
Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk
mendalami fiqih dan hadis sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di
Kufah. Sepeninggal Hammad, Majlis Madrasah Kufah sepakat unti mengangkat Abu
Hanifah menjadi kepala madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan
fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar pemikiran madzhab
hanafi yang dikenal sekarang ini.
Abu Hanifah berhasil mendidik dan menempa ratusan murid yang
memiliki pengetahuan luas dalam masalah fiqih. Puluhan dari muridnya itu
menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, Saljuk,
‘Usmani dan Mughal. Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan
selalu memberi nasehat kepadanya, antara lain Imam ‘Amir ibn Syahril
al-Sya’bani dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’ari. Ia mempelajari qira’at dan
tajwid dari Idris ‘Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada
perintah gurunya.[10]
2.
Pola
Pemikiran dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abu Hanifah dalam Menetapkan
Hukum Islam.
Pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Abu Hanifah
pernah ditawari beberapa jabatan resmi, seperti di Kufah yang ditawarkan oleh
Yazid bin Umar (pembesar kerajaan), akan tetapi Abu hanifah menolaknya. Pada
masa dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al Manshur pernah pula meminta kedatangannya
di Baghdad untuk diberi jabatan sebagai hakim, namun ia menolaknya. Akibat
penolakan itu ia dipenjarakan samapi meninggal dunia. Abu Hanifah hidup selama
52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyah.
Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta,
terjadi di Kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian
Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja’far al Manshur
(754-775M) sebagai ibuk kota kerajaan tahun 762M.
Baghdad pada mas hidup Abu hanifah merupakan salah satu kota
metropolitan. Disamping itu baghdad merupakan tempat beraneka mazhab, pendapat
dan kemewahan., maka tidaklah heran jika sekiranya lahir dari satu gagasn yang
menyatukan hidup modern dan nash-nash agama. Keadaan seperti itulah yang
menyebabkan timbulnya satu cara untuk mencari jalan agar mengemukakakn diantara
apa yang sedang terjadi didalam masyarakat dan nash-nsah hukum agama.[11]
Dalam menetapkan suatu hukum, disamping Al-Qur’an tentu hadis/sunah
rasul tidak beliau abaikan. Hal ini sengaja ditetapkan supaya tidak ada kesan
bahwa beliau kurang memperhatikan Sunah Rasul. Abu Hanifah sendiri pernah
berkata: “ jauhilah olehmu memperkatakan urusan agamaa Allah menurut pendapat
sendiri, tidak menurut Hadis-hadis Nabi.”Beliau memang sangat selektif terhadap
hadis, sehingga hadis yang dipandang lemah beliau tinggalkan dan lebih
mengutamakan rasio (analogi atau qiyas).[12]
Adapun metode istidlal (menetapkan hukum syara’) Imam Abu
hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri:” sesungguhnya saya mengambil
kitab Al qur’an dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam Al
Qur’an maka saya mengambil dari Sunnah Rasul SAW. Yang shahih dan tersyiar
dikalangan orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak
keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itusampai pada Ibrahim al sya’bi,
Hasab ibn sirin dan Said ibn Musayyah maka saya berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.”
Abu hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu
mengatakan “Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat
lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar,”. Pernah ada orang yang
berkata kepadanya, :Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan
lagi?” ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adlah fatwa yang salah yang
tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan diatas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal
atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya
(petunjukknya) secara qath’iy (jelas) dari Al Qur’an atau dari hadis
yang diragukan keshahihannya, ia selalu mendapatkan ra’yu. Ia sangat selektif
dalam menerima hadis. Imam Abu Hanifah memperhatikan mu’amalat manusia, adat
istiadat serta ‘urf mereka. Beliau berpegang pada qiyas dan apabila tidak bisa
ditetapkan berdasarkan qiyas, beliau berpegang pada istihsan selama hal itu
dapat dilakukan. Jika tidak belua berpegang
pada ‘urf dan adat istiadat.
Dalam menetapkan hukum, Abu hanifah dipengaruhi hukum di Kufah,
yang banyak mengetahui hadis. Di Kufah kurang perbendaharaan hadis, disamping
itu Kufah sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan Persia, kondisi
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban yang cukup tinggi. Oleh
sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum. Karena problema
itu belum pernah terjadi dizaman Rasulullah, sahabat atau tabi’in, maka untuk
mengatasinya memerlukan ijtihad dan ra’yi (keyakinan). Para ahli hukum
di Kufah (Irak) merumuskan ketentuan hukum mereka dari pendapat dan
pertimbangan sahabat, seperti Ali Abdullah ibn Mas’ud dan para tabiin seperti :
Al qamah, Al aswad, Ibrahim al nakha’iy, dll. Pemikiran para pakar hukum diirak
ini diwarisi oleh Abu hanifah dengan mempelajari ketentuan hukum terdahulu dari
mereka dan melakukan perbincangan dengan pakar hukum sezamannya dalam mengambil
keputusan-keputusan. Kemudian ia melakukan ijtihad dengan menetapkan
keputusan-keputusan. Kemudian ia melakukan ijtihad dengan tetap memelihara
semangat dan praktek yang berlaku di Kufah ketika itu. Metode Abu Hanifah ini
pengaruhnya tersebar luas dan menjadi simbol kristalisasi dalam tradisi Irak.
Melihat perkembangan sejarah yang terus bergulir dan berputar,
zaman terus berubah dan masyarakatpun mengalami perubahan, maka sejak awal
tokoh-tokoh mazhab sudah melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi
ketika itu. Abu hanifah menolak sebagian hadis yang diragukan keshahihannya dan
hanya bertumpu pada Al qur’an. Melalui qiyas ia berusaha agar ayat-ayat Al
qur’an dapat disesuaikan pada tiap ragam keadaan.
Mazhab hanafi menggambarkan upaya penyesuaian hukum islam dengan
kebutuhan masyarakat dalam segala bidang. Imam Hanafi banayk sekali
mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum
yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam menetapka suatu
hukum adalah :[13]
a.
Al
Qur’an
Yaitu sumber
pokok ajaran islam yang memberi sinar pembentukan Hukum Islam sampai akhir
zaman. Segala permaslahan hukum agama merujuk kepada al kitab tersebut kepada
jiwa kandungannya.
b.
As
Sunnah
Yaitu berfungsi
sebagai penjelasan al kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
c.
Aqwalus
shahabah (Perkatan
Sahabat)
Para sahabat
itu adalah termasuk orang yangmembantu menyampaikan risalah Allah, mereka tahu
sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al qur’an ( walaupun tidak semua sahabat
mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah. Sehingga meraka
tahu bagaimana kaitan hadis Nabi dengan ayat Al qur’an yang diturunkan itu.
Perkataan
sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah, karena menurut
mereka orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya. Dengan
demikian pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat dengan
kebenaran tersebut. Oleh sebab itu pernyataan hukum mereka dapat dikutip untuk
diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Ketetapan sahabat ada dua bentuk, yaitu
ketetapan hukum dalam bentuk ijmak dan ketentuan hukum dlaam bentuk fatwa.
d.
Al
Qiyas
Apabila dalam
Al qur’an, sunnah, perkataan sahabat tidak menemukan jalan, maka beliau
menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada nash yang ada
setelahmemperhatikan illatnya yang sama antara keduanya.
e.
Al
Istihsan
Menurut hahasa
berarti “ menganggap baik atau mencari yang baik”. Menurut istilah ulama ushul
fiqih, istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya atau
meninggalkan hukum yang bersifat umum dan berpegang teguh kepada hukum yang
bersifat pengecualian karena dalil yang memperkuatnya.
Menurut pendapat sebagian ulama, Abu hanifah terlalu maju melangkah
kedepan dalam menetapkan hukum islam, dan dikenal bahwa beliau disebut dengan “Ahlu
Ra’yi”. Dibawah ini contoh-contoh istihsan :[14]
v Menurut mazhab Hanafi, bila seseorang mewakafkan sebidang tanah
pertanian, maka termasuk yang diwakafkan itu hak pengairan dan hak membuat
saluran air diatas tanah itu. Hal ini ditetapkan berdasarkan istihsan.
Berdasarkan
qiyas jali (jelas illatnya), hak-hak tersebut tidak diperoleh karena diqiyaskan
kepada jual beli. Pada masalah jual beli yang penting adalah pemindahan hak
milik dari penjual kepada pembeli.
Apabila wakaf
diqiyaskan kepada jualbeli, maka yang terpentng itu pemindahan hak milik.
Sedangkan menurut istihsana, hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan wakaf
itu kepada sewa menyewa. Dalam soal sewa menyewa yang terpenting adalah
pemindahan hak untuk memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewanya.
Demikian pula halnya dengan wakaf, yang penting adlah agar barang yang
diwakafkan itu dapat dimanfaatkan.
Sebidang tanah
pertanian hanya dapat dimanfaaatkan, jika memperoleh pengairan. Jika wakaf itu
diqiyaskan jual beli, maka tujuan wakaf itu tidak akan tercapai, karena pada
jual beli yang diutamanka aadlah pemindahan hak milik. Supaya tujuan tercapai
perlu dicarikan dasar yang lain, yaitu sewa menyewa. Kedua persamaan ini ada
persamaan illatnya, yaitu mengutamakan manfaat barang itu, teteapi qiyasnya
adalah qiyas khafi (qiyas samar). Karena ada suatu kepentingan maka dilakukan
pemindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi yang disebut dengan Istihsan.
v Menurut mazhab Hanafi, sisa minuman burung-burung buas seperti
gagak, rajawali dan elang adalah suci berdasarkan istihsan dan najis
berdasarkan qiyas. Sisa minuman binatang buas seperti singa, serigala, dan
harimau adalah haram, karena dagingnya haram. Burung-burung buas dagingnya juga
haram, karena diqiyaskan pada binatang buas dan karena itu sisa minumannya juga
haram.
Berdasarkan
istihsan, burung buas meskipun dagingnya haram tetapi air liurnya berasal
dari dagingnya tidak dicampur dengan air
sisa minumnya, karena ia mnum dengan paruhnya dan paruhnya itu sebagian dari
tulangnya, sedangkan tulangnya suci. Oelh sebab itu sisa minumannya tetap suci.
Berbeda dengan
binatang buas yang minum dengan lidahnya, sehingga air liurnya bercampur dengan
sisa air minumnya dan karena itu ia najis. Kedua jenis binatang tadi sama-sama
haram, karena sama-sama buas tetapicara minumnya berbeda sehingga yang stu
tercampur sedangkan yang satunya tidak tercampur.
v Syara’ melarang jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad
terhadap suatu barang yang belum ada pada saat jual beli itu dilakukan.
Ketentuan semacam ini berlaku untuk semua kegiatan jua beli.
Tetapi dalam
hal tertentu syara’ memberikan rukhshah (keringanan, dispensasi) dan
diperkenankan jual beli dengan cara pesanan (salam). Keringanan itu diperlukan
untuk memudahkan lalu lintas perdagangan. Pemberian rukhshah ini pengecualian
dan ketentuan umum karen sangat diperlukan masyarakat.
f.
‘Urf
Pendirian
beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai, lari dari keburukan
serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apaynag mendatangkan maslahat
bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bial tidak menemukan didalam Al
qur’an , sunnah, ijmak atau qiyas dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara
qiyas), beliau melakukan atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila
tidak dapat dilakuakan, beliau kembali pada ‘urf manusia. Hal ini menunjukkan
bahwa beliau memperhatikan ‘urf manusia apabila tidak ada nash Kitab, nash
Sunnah, Ijmak, Qiyas, dan Istihsan.[15]
‘Urf
menurut bahasa berarti apa yang bisa dilakukan orang, baik dalam kata-kata
maupun perbuatan. Dengan perkataan lain adat istiadat.
Contoh
‘Urf ialah kebiasaan dalam perkataan, yakni perkataan walad yang biasa
diartikan untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Contoh kebiasaan dalam
perbuatan ialah jual beli dengan jalan serah terima, tanpa menggunakan ijab
kabul. Prinsip ‘Urf ini bukan saja diriwayatkan dari Abu Hanifah bahkan juga
diriwayatkan dari imam-imam lain dalam mazhabnya.
Para
ulama menetapkan ‘urf sebagai dasar tasyri’, manakala tidak terdapat dalil
tasyri’. Akan tetapi terkadang meninggalkan manakala ‘urf itu menyalahi nash
seperti menyuguhkan minuman keras dalam pesta besar. Hal ini jelas ditolak
karena bertentangan dengan nash.
Demikianlah ketentuan ‘urf dalam fiqih Abu hanifah.
3.
Karya-karya
Abu Hanifah, Murid-muridnya serta Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya
Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar, yaitu : Fiqh akbar, al
‘Alim wa al Muta’alim, dan Musnad Fiqh Akbar. Sebuah majalah ringkasan yang
sangat terkenal.disamping itu Abu Hanifah membentuk kelembagaan yang terdiri
dari tokoh-tokoh cendikiawan dan ia sendiri sebagai ketuanya. Kelembagaan ini
berfungsi sebagai mewusyawarahkan dan menetapkan ajaran islam dalam bentuk
tulisan dan mengalihkan syari’at islam kedalam undang-undang.
Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kuffah dan
membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal didunia islam :
a)
Abu
Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al Anshary (113-182H)
b)
Muhammad
ibn Hasan al Syaibany (132-189H)
c)
Zufar
ibn Huzailibn al Kufy (110-158H)
d)
Al
Hasan ibn Ziyad al Lu’luiy (133-204H)
e)
Dari
keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah fikiran Abu Hanifah adalah
Muhammad al Syaibany yang terkenal dengna al kutub al sittah (enam kitab)
yaitu:
1.
Kitab
al Masbuth.
2.
Kitab
al Ziyadad.
3.
Kitab
al Jami’ al Shaghir.
4.
Kitab
al Jami’ al Kabir.
5.
Kitab
al Sair al Shaghir.
6.
Kitab
al Sair al Kabir.
Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh
besar dalam dunia islam, khususnya umat islam yang beraliran Sunny. Para
pengikutnya tersebar diberbagai
negara, seperti Irak, Turki, Asia tengah, Pakistan, India, Turkistan, Syiria,
Mesir dan Libanon. Mazhab Hanafi pada masa khalifah Bani Abbas merupakan mazhab
yang banyak dianut oleh umat islam dan pemerintah kerajaan Usmani.[16]
B.
Imam
Malik bin Anas
1.
Biografi
dan latar belakang pendidikan Imam Malik bin Anas
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai
dalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan dikota Madinah, suatu daerah di
negeri Hijaz tahun 93 H/12M, dan wafatnya pada hari Ahad, 10 Rabiul awal
179H/798M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah dibawah kekuasaan Harun
Al Rasyid. Nama lengkapnya beliau adalah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik
ibn Abu ‘Amir ibn al Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu
Ashbah, sebuah dusun dikota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama Siti
al ‘Aliyah binti Syuraik ibn Abd Rahman ibn Syuraik al Azdiyah. Imam Malik
berada daam kandungan rahim ibunya selama dua tahun.[17]
Beliau
belajar fiqih kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama
Rabi’ah al Ra’yi (wafat tahun 136 H). Kepandaian Imam Maliki tentang
pengetahuan ilmu agama dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya,
seperti pernyataan Imam Hanafi yang menyebutkan bahwa: “beliau tidak pernah
menjumpai seorangpun yang lebih alim dari pada Imam Malik. Bahkan Imam al Laits
bin Sa’ad pernah berkata, bahwa “ Pengetahuan Imam Maliki adalah pengetahuan
orang yang takwa kepada Allah dan boleh dipercayai bagi orang-orang yang
benar-benar hendak mengambil pengetahuan.”
Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu Hadis kepada Imam Nafi’ Maulana
Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab al
Zuhry.
2.
Pola
Pemikiran dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Malik dalam Menetapkan Hukum
Islam.
Imam Malik adalah seorang mujahid dan ahli ibadah sebagaimana
halnya Imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh
sebagai sorang ulama terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih.
Apabila diajukan kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa.[18]
Imam Abu Hanifah pernah berkata :
“ Aku memberikan hukum berdasarkan
al Qur’an. Apabila aku tidak menjumpai dalam al Qur’an maka aku gunakan hadis
Rasulullah saw, dan jika tidak ada dalam keduanya, maka aku dasarkan pada
pendapat para sahabat-sahabatnya. Aku berpegang teguh kepada pendapat siapa
saja dari para sahabat yang akau kehendaki dan aku tinggalkan apa saja yang
tidak kusukai dan tetap berpegang teguh kepada satu pendapat saja. Adapun jika
permasalahan berhenti pada Ibrahim, Sya’bi, Ibn Sirin, Atha’ dan Sa’id ibn
Musayyab... suatu kaum berijtihad, maka aku juga berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad. “[19]
Cara-cara beliau memberi fatwa bisa dilihat dari cara beliau
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan beliau. Beberapa
ulama meriwayatkan , Imam Malik berkata :”Saya tidak memberi fatwa-fatwa dan
meriwayatkan hadis, sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakuinya”. Artinya
bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain setelah
disaksikan 70 orang ulama, dan mereka
itu menetapkan dan sepakat, bahwa beliau seorang yang ahli dlam masalah yang
difatwakan.
Dalam bidang Aqa’id Imam Malik memiliki pendirian yang tegas dalam
memegang prinsip. Sebaik-baik urusan agama adalah yang telah menjadi sunnah dan
sejelek-jelek urusan adlaah yang diada-adakan. Oleh sebab itu beliau menolak
segala macam akidah yang ditimbulkan dari partai-partai islam dan mengenai
akidah beliau berpegang teguh pada apa yang ditunjuki nash. Beliau berpendapat,
bahwa iman adalah gabungan dari iktikad hati, ucapan lidah dan amal anggota dan
iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Mengenai Qadar, beliau berdiri
seimbang, artinya bahwa segala perbuatan manusia terjadi dengan ciptaan Allah,
tetapi manusia punya daya usaha untuk mengusahakannya, karena manusia dibalas
dikelak segala amal perbuatannya.
Mengenai kemakhlukan Al Qur’an yang dikembangkan oleh al Jaham dan
dianut oleh Qadariah dan Muktazilah yang sebenernya tidak dapat dianggap
menyimpang dari agama. Maliki tidak mengatakannya. Sebenarnya kita tidak perlu
menyesatkan orang yang mengatakan kemakhlukan Al Qur’an, karena mereka percaya
bahwa al Qur’an itu turun dari Allah.[20]
Ø Pesan Imam Malik Mengenai Bid’ah
Sebagaimana telah diungkapkan diatas,bahwa Imam Malik adalah
seorang alim besar yang amat cinta kepada Sunnah Nabi SAW. Dan sangat benci
terhadap orang yang membuat model baru tentang urusan agama dan perbuatan yang
dalam istilah agama “bid’ah”. Beliau sangat keras terhadap bid’ah dan ahli
bid’ah, antara lain beliau pernah bersyair yang artinya :”sebaik-baik urusan
agama adalah mengikuti Sunnah Nabi dan sejlek-jelek uruusan agama adalah
perbuatan baru”. Artinya bahwa sebaik-baik urusan agama mengenai peribadatan
adalah yang mengikuti pimpinan Nabi atau Sunnah Nabi dan sejelek-jeleknya
adalah yang diperbuat tanpa contoh dari Nabi dan tidak pernah pula dikerjakan
oleh Nabi.
Pada kesempatan yang berbeda beliau pernah berkata :”Barang siapa
yang mengada-ada suatu perbuatan baru dalam urusan agama islam dan ia telah
menganggap bahwa perbuatan itu baik, maka sesungguhnya berarti ia telah menuduh
bahwa Nabi telah berfirman : Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi engkau
akan agamamu...
Oleh sebab itu apapun yang tidak menjadi agama pada masa itu, tidak
akan menjadi agama pada masa yang lain. Artinya bahwa orang yang memandang
perbuatan yang baru itu baik, berarti menganggap Nabi tidak sempurna dalam
menyampaikan risalahnya kepada ummat manusia.
Ø Nasehat Imam Maliki Terhadap Sikap Taqlid
Sebagai mufti besar , dan sebagai seorang ahli hadis beliau tidak
pernah mengajarkan atau memberikan pimpinan kepada muridnya supaya mengekor(
bertaqlid) terhadap pendapatatau buah penyelidikan beliau bahkan amat
berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal haram dang sangat melarang orang
bertaqlid buta, dan sebagai bukti ada beberapa pesan beliau:
Imam Malik pernah berkata:”Saya seorang manusia, dan saya terkadang
salah terkadang benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik
pendapat saya, jika sesuai dengan al Qur’an dan sunnah maka ambilah dia dan
jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”. Artinya bahwa beliau menjatuhkan hukuman
dalam maslah keagamaan, dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan
dari nash al Qur’an dan sunnah, maka masing-masing kita disuruh untuk melihat
dan memperhatikanya kembali dengan baik tentang buah pikiran beliau itu.
Maksudnya semua pikiran yang diutarakannya terlebih dahulu harus dicocokkan
dengan al Qur’an dan sunnah.
Pasa suatu waktu beliau juga pernah berkata bahwa :” Tidaklah semua
perkataan itu lalu diturut sekalipun ia orang yang mempunyai
kelebihan-kelebihan. Kita tadak mesti mengikuti perkataan orang dengan
sembarangan meskipun orang itu punya kelebihan, ketinggian derajat atau
terpandang mulia. Kalau perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi
hukum-hukum Rasul, maka kita tidak diperbolehkan untuk tidak mengikutinya.[21]
Hukum fiqih yang diberikan Imam Malik adalah berdasarkan kepada Al
Qur’an dan hadis. Imam Malik menjadikan hadis sebagai pembantu dalam memamhami
Al qur’an. Iamam Malik sangat berhati-hati tentang riwayat-riwayat hadis karena
menjaga dari kekeliruan diantara hadis shahih dan hadis dhaif. Beliau
menganggap perbuatan atau amalan penduduk Madinah sebagai Hujjah dan sumber yang
penting dalam hukum fiqih.[22]
Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai
alim besar dalam ilmu hadis. Hal ini terlihat dari perkataan para ulama,
diantaranya Imam Syafi’i yang mengatakan:”Apabila datang kepadamu hadis dari
Imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu, karena dia menjadi hujjah bagimu”. Dalam
menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati
sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau pernah berkata:”saya tidak pernah
memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadis sehingga 70 ulama memenarkan dan
mengakui”.
Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum
islam adalah berpegang kepada :
a.
Al
Qur’an
Dalam
memegang al Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash
al Qur’an atau keumumannya meliputi mafhum al mukhalafah dan mafhum al aula dengan
memperhatikan ‘illatnya.
b.
Sunnah
Dalam
berbegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang
dilakukannya dalam berpegang teguh pada Al Qur’an. Apabila dalil syar’i
menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arri ta’wil
tersebut. Apabila terdapat pertantangan antara ma’na zahir al qur’an dengan
makna yang terkandung dalam sunnah, sekalipun jelas maka yang dipegang adalah makna zahir al Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung
oleh al sunnah tersebut dikuatkan oleh Ijma’ ahl al Madinah, maka ia lebih
mengutamakan yang terkandung dalam sunah daripada zahir al Qur’an (sunnah yang
dimaksud disini adalah al Mutawatirah atau al Masyhurah).
c.
Ijma’
Ahl Al Madinah
Ijma’
ahl madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al madinah yang asalanya dari al
naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW., bukan dari hasil ijtihad ahl
madinah, seperti tentang ukuran mud, sha’ dan penentuan suatu tempat, seperti
tempat mimbar Nabi SAW. Atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti
adzan ditempat yang tinggi. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut
Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan ijma’ahl al madinah adalah ijma’ahl ala
madinah apda amsa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi
SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al madinah yang hidup kemudian, sama sekali
bukan hujjah. Ijma’ ahl al madinah yang berasal dari al naql, sudah merupakan
hujjah.
Dikalangan
mazhab Maliki, ijma’ahl al madinah lebi
diutamakan daripada khabar ahad, sebab ijma’ahl ala madinah merupakan
pemberitaan oleh jamaah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan
perorangan.
Ijma’ ahl al madinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu :
1)
Kesepaktaan
ahl al madinah yang berasal dari al Naql.
2)
Amalan
ahl al Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijma’ahl al Madinah yang
terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi pernah diketahui ada amalan ahl
al Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW.
3)
Amalan
Ahl al madinah ini dijadikan pendukung tanau pentarjih atas dua dalil yang
saling bertentangan. Artinya, apabila ada dua dalil yang satu sama lain saling
bertentangan, sedangkan untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil tersebut
ada yang merupakan amal al madinah, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl
al madinah, maka dalil yan diperkuat oleh amlaan ahl ala madinah itulah yang
dijadikan hujjah menurut mazhab Malik.
4)
Amalan
ahl al madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl ala
madinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut al Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal,
Abu Hanifah, maupun menurut para ulama dikalangan mazhab Maliki.[23]
d.
Fatwa
Sahabat
Yang
dimaksud dengan sahabat adalah sahabat besar yang berpengetahuan mereka
terhadap suatu masalah itu didasarkan
pada al Naql. Ini berarti, bahwa yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat
itu adlah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para
sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan
pada al Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu
adalah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para
sahabat tresebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami
dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa tersebut tidak
boleh bertentangan dengan hadis marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat
yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Adakalanya Imam Malik juga
menggunakan fatwa tabi’in besar sebgaia pegangan dalam menentukan hukum.
Fatwa
sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh
para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu juga ijma’ sahabat yang masih
diperselisihkan diantara para ulama adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil
ijtihad mereka. Dikalangan muta’akhirin mazhab Maliki, fatwa sahabat yang
semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai hujjah.
e.
Khabar
Ahad dan Qiyas
Imam
Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah,
jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesutau yang sudah dikenla oleh
masyarakat Madinah, sekalipun hasil dari istinbath. Kecuali habar ahad tersebut
dikuatkan
oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam
Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia menggunakan Qiyas dari pada
menggunakan khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak
dikenal atau tidak populer dikalangan masyarakat madinah, maka hal ini dianggap
sebagai hukum sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar
berasal dari Rasulullah SAW. Dengan
demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasarsebagai dasar hukum, tetapi
ia menggunakan qiyas dan maslahah.
f.
Al
Istihsan
Menurut
mazhab Maliki, al istihsan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang
merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud
mengutamakan al istidlal al mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan
itu, tidak berati hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata,
melainkan mendasar pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara
keseluruhan.
Dari
ta’rif tersebut jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juzz’iyah atau
maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum.
Istihsan
adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat
dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang
menurut qiyas semestinay diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum
tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu maslahah atau membawa
kemadharatan tertentu, maka ketentuan
qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif. Terasnya, istihsan
selalu melihat dampak suatu hukum tertentu. Jangan sampai suatu ketentuan hukum
membawa dampak yang merugikan, dampak suatu maslahat mendatangkan maslahat atau
menghindarkan madharat.
Ibnu
al ‘Araby salah seorang ulama malikiyah menyatakan bahwa :” istihsan menurut
mazhab Maliki bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan
hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil
lain yang lebih kuat yang kandungannya berbeda dari dalil yang ditinggalkan
tersebut. Dalil yang kedua tersebut dapat berupa ijma’ atau ‘Urf atau maslahah
mursalahatau qaidah “رَفْعُ
اْلحَرَجِ وَاْلُمَشَّقَةٌ " menghindarkan kesempitan dan kesulitan yang telah diakui syari’at
akan sebenarnya.
g.
Al
Maslahah al Mursalah
Maslahah
yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak ada ketentuannya,
baik secara tersurat atau tidak disinggung oleh nash, dengan demikian maslahah
mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan
syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al Qur’an Sunnah atau Ijma’.
Para
ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan
beberapa syari’at untuk dipenuhi sebagai berikut :
v Maslahah itu harus benar-benar maslahah menurut penelitian yang
seksama, nukan sekedar diperkirakan secara sepintas
v Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat
umum bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
Artinya maslahah tersebut harus merupakan maslahah bagi kebanyakan orang.
v Maslahaha itu harus bener-bener maslahah yang bersifat umum dan tidak
bertentangan dengan ketentuan nash dan ijma’.
h.
Saad
al Dhari’ah
Imam Malik
menggunakan saad al dhari’ah sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau
terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang
menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i.
Istishhab
Imam Malik
menjadikan sistishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab adalah
tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang,
berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada dimasa lampau. Jadi sesuatu
yang telah diyakininya adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu
yang telah diyakini adanya tesebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu
tetap ada. Misalnya seorang yang telah yakin sudah berwudhu dan dikuatkan lagi,
bahwa is baru saja menyelesaikan sholat shubuh, kemudian datang keraguan kepada
orang tersebut tentang sudah batal atau belum wudhunya, maka hukum yang dimilki
orang tersebut adalah bahwa belum batal wudhunya. Sebaliknya apabila ada
seorang yang belum berwudhu dan dikuatkan pula, bahwa ia belum melakukan suatu
shalat apapun, bahwa ia baru hendak mengerjakan shalat, kemudian datang
keraguan tentang sudah berwudhu atau belum. Maka hukum yang dimilki orang
tersebut adalah bahwa dia belum berwudhu. Inilah yang disebut istishhab.
j.
Sya’ru
Man Qablana Sya’ru Man Lana
Menurut Qadhy
Abd Wahab al Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan qaidah “ Sya’ru Man
Qablana Sya’ru Man Lana” sebagai landasn hukum. Menurut Abd Wahab Khallaf,
bahwa apabila Al Qur’an dan sunnah mengisahkan suatu hukum yang pernah
dilakukan oleh umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk
mereka dan hukum-hukum tersebut
dinyatakan pula dalam Al Qur’an atau Sunnah al Shahihah. Contohnya disebutkan
dalam surat Al Baqarah ayat 183 :
Artinya
:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Kemudian
apabila kisah dalam Al Qur’an dan Sunnah al Shalihah menyatakan bahwa
hukum-hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum-hukum seperti itu tidak lagi
berlaku bagi kita. Contoh antara lain syari’at nabi Musa, dimana orang-orang
dari umatnya jika berbuat maksiat, tidak dapat lagi bertobat kecuali dengan cara bunuh diri.
Hukum tersebut pernah diberlakukan buat Nabi Musa, tetapi tidak lagi
diberlakukan buat kita.
Imam Malik
dalam sejarah hidupnya hanya menetap dikota Madinah itu kecuali ke Mekkah hanya
menetap ibadah haji, beliau sangat dipengaruhi amalan pendukduk Madinah.beliau
begitu besar pengaruhnya sampai-sampai khabar ahad dapat diterima oleh beliau
jika tidak bertentangan dengan amalan ahlu madinah. Atau dikuatkan oleh
dalil lain yang Qath’iy.
Walaupun
demikian dalam satu sisi beliau sangat terpengaruh dengan penduduk Madinah,
disisi lain beliau juga mengunakan maslahah mursalah dan istihsan sebagai
landasan hukum. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh adanya beberapa
perubahan keadaan kota Madinah pada zaman Imam Malik dengan keadaan kota
Madinah pada zaman Rasulullah SAW., sehingga menurut pandangan Imam Malik tidak
ada jalan yang harus ditempuh untuk mengatasinya, kecuali dengan jalan lain,
yaitu menggunakan maslahah mursalah dan istihsan sebagai sumber hukum.
1.
Karya-karya
Imam Malik, Murid-muridnya Serta Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya
Diantara karya-karya Imam Malik adalah kitab al Muwatha’
yang ditulis pada tahun 144H. Pendapat Imam Malik ibn Anas dapat sampai kepada
kita melalui dua buah kitab, yaitu al muwatha’ dan al mudawanah al kubra.
Kitab al muwathha’ mengandung dua aspek, yaitu hadis dan fiqih. Adanya aspek hadis
iytu berasal dari Rasulullah, sahabat dan tabiiin. Hadis-hadis yang terdapat
dalam al muwatha’ ada yang bersanad lengkap, ada yang mursal, ada yang
muttashil dan ada pula yang munqathi’, bahkan ada yang balaghat yaitu suatu
sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerima hadis tersebut.
Adapun yang dimaksud kandungan dalam aspek fiqih karena kitab al
muwathha’ itu disusun secara sistematika dengan bab-bab pembahasan seperti
layaknya kitab fiqih. Setiap bab dibagi menjadi beberapa fasal yang setiap
fasal mengandung fasal-fasal yang hampir sejenis, seperti fasal sholat jama’ah.
Diantara sahabat Imam Malik yang berjasa mengembangkan mazhab yaitu
:
Ø Usman ibn Ahkam al Juzami
Ø Abd Rahman ibn Khalid ibn Yazid ibn Yahya
Ø Abd Rahman ibn al Qasim
Ø Asyhab ibn Abd Aziz
Ø Ibn Abd al Hakam
Ø Haris ibn Miskin.
Disamping Imam Malik sepanjang hayatnya tinggal di Madinah yang
pada wktu itu merupakan sumber ilmu dan menjadi tujuan orang yang sedang
menjalankan ibadah haji. Oleh karena itu sebelum tersebarnya mazhab Hanbali,
mazhab Maliki menjadi mazhab satu-satunya yang dianut oleh masyarakat Hijaz.
Dewasa ini mazhab Maliki dianut oleh masyarakat di kawasan Hijaz, Maroko,
sebagian Afrika dan dataran tinggi Mesir. Bahkan mazhab hingga akhir tahun 1980
an menjadi mazhab resmi di kerajaan Kuwait.[24]
C. Imam Syafi’i
1. Biografi Imam Syafi’I dan Latar Belakang
Pendidikannya
Sebagaimana yang dikutip dari Dr. Huzaemah, Imam
Syafi’I dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H. (767 M). Menurut
suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’I wafat
di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Abu
Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’I ibn Saib ibn ‘Ubaid ibn Yazid
ibn Hasyim ibn Abd al-Muththalib ibn Abd. al-Manaf ibn Qushay al-Quraisyiy.[25]
Ketika Ayah dan Ibu Imama Syafi’I pergi ke
Syam dalam suatu urusan, lahirlah Syafi’I di Qazah, atau Asqalan. Ketika
ayahnya meninggal, ia masih kecil. Ketika baru berusia dua tahun, Syafi’I kecil
dibawa ibunya ke Makkah. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir.
Dalam asuhan ibunya, ia dibekali pendidikan,
sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-Qur’an pada Ismail ibn
Qastantin, qari’ kota Makkah. Sebuah
riwayat mengatakan, bahwa Syafi’I pernah hatam al-Qur’an dalam bulan Ramadhan
sebanyak 60 kali.
Imam Syafi’I pergi dari Makkah menuju suatu
dusun Bani Huzail untuk mempelajari bahasa Arab karena di sana terdapat
pengajar-pengajar bahasa Arab yang fasih dan asli. Imam Syafi’I tinggal di
Huzail selama kurang lebih 10 tahun. Di sana ia belajar sastra Arab sampai mahir
dan banyak menghafal syi’ir-syi’ir dari Imru’u Alqais, Zuhaer dan Jarir. Dengan
mempelajari sastra Arab, ia terdorong untuk memahami kandungan al-Qur’an yang
berbahasa Arab fasih, asli, dan murni. Imam Syafi’I menjadi orang yang
terpercaya dalam soal syi’ir-syi’ir kaum Huzael.
Sebelum menekuni fiqh dan hadist, Imam
Syafi’I tertarik pada puisi, syi’ir dan sajak bahasa Arab. Ia belajar hadist
dari Imam Maliki di Madinah. Dalam usia 13 tahun ia telah dapat menghafal
al-Muthawaththa. Sebelumnya Imam Syafi’I pernah belajar hadist kepada Sufyan
Ibn ‘Uyainah salah seorang ahli hadist di Makkah.
Menurut Khudhary Bek, sebelum Imam Syafi’I
pergi ke Baghdad ia telah mempelajari hadits dari dua orang ahli hadits
kenamaan, yaitu Sufyan ibn ‘Uyainah di Makkah dan Imam Malik di Madinah.
Keduanya merupakan “Syaikh” Imam Syafi’I yang terbesar, sekalipun ada “Syaikh”
yang lainnya.[26]
Menurut Ahmad Amin dalam Dhuha al-Islam, Imam Syafi’I belajar fiqh dari Muslim ibn Khalid
al-Zanjiy seorang Mufti Makkah. Kemudian ia ke Madinah dan menjadi murid Imam
Malik serta mempelajari al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya, sehingga Imam
Malik melihat, bahwa al-Syafi’I termasuk orang yang sangat cerdas dan kuat
ingatannya. Oleh sebab itu Imam Malik sangat menghormati dan dekat dengannya.[27]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’I
mempunyai pengetahuan sangat luas dalam bidang lughah dan adab, di samping pengetahuan hadits yang ia peroleh dari beberapa
negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang fiqh meliputi fiqh Ashab al-Ra’yi di Irak dan fiqh Ashab al-Hadits di Hijaz.[28]
2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Syafi’I dalam Menetapkan Hukum Islam
Adapun aliran keagamaan Imam Syafi’I, sama
dengan Imam Madzhab lainnya dari Imam-imam Madzhab empat: Abu Hanifah, Malik
bin Anas dan Ahmad ibn Hanbal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu al-Hadist dan aliran Ahlu
al-Ra’yi. Imam Syafi’I termasuk Ahlu
al-Hadist. Imam Syafi’I sebagai imam Rihalah
fi Thalab al-Fiqh, pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam
Malik dan pergi ke Irak untuk menuntut ilmu kepada Muhammad ibn al-Hasan, salah
seorang murid Imam Abu Hanifah. Karena itu, meskipun Imam Syafi’I digolongkan
sebagai orang yang beraliran ahlu
al-ra’yu tentu akan memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan
hukum.
Di samping itu, pengetahuan Imam Syafi’I
tentang masalah sosial kemasyarakatan sangat luas. Ia menyaksikan secara
langsung kehidupan masyarakat desa (Badwy)
dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada
tingkat awal di Irak dan Yaman. Juga menyaksikan kehidupan masyarakat yang
sangat komlpeks peradabannya, seperti yang terjadi di Irak dan Mesir. Ia juga
menyaksikan kehidupan Zuhud dan Ahlu al-Hadist. Pengetahuan Imam Syafi’I dalam
bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan
bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam.
Hal ini memberikan pengaruh pula dalam madzhabnya.
Menurut Musthafa al-Siba’iy bahwa Imam
Syafi’I yang meletakkan dasar pertama tentang aqidah periwayatan hadist, dan ia
pula yang mempertahankan Sunnah melebihi gurunya, yaitu Malik bin Anas. Dalam
bidang hadist, Syafi’I berbeda dengan Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Menurut
Imam Syafi’I apabila suatu hadist sudah sahih sanadnya kepada Nabi SAW., maka
sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan dengan amalan ahl- al-Madinah
sebagaimana yang disyaratkan Imam Malik dan tidak pula perlu ditentukan syarat
yang terlalu banyak dalam penerimaan hadist, sebagaimana yang disyaratkan oleh
Imam Abu Hanifah. Karena itu, Imam Syafi’I dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah (penolong Sunnah).
Imam Syafi’I mempunyai dua pandangan, yang
dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul qadim terdapat dalam
kitabnya yang bernama al-Hujjah, yang
dicetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.
Adanya dua pandangan hasil ijtihad itu, maka diperkirakan bahwa
situasi tempat pun turut mempengaruhi ijtihad Imam Syafi’I. Keadaan di Irak, Imam
Syafi’I menela’ah kitab-kitab fiqh Irak
dan memadukan dengan ilmu yang ia miliki yang didasarkan pada teori Ahlu
al-Hadist.
Qaul qadim Imam
Syafi’I merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional dan fiqh ahl al-hadist yang bersifat
“”tradisional”. Tetapi fiqh yang demikian, akan lebih sesuai denga n
ulama-ulama yang datang dari berbagai Negara Islam ke Makkah pada saat itu,
mengingat siyuasi dan kondisi Negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke
Makkah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Kedatangan Imam Syafi’I
kedua kalinya ke Irak hanya beberapa bulan saja tinggal di sana, kemudian pergi
ke Mesir. Di Mesir itulah tercetus qaul
jadidnya yang didiktekannya kepada murid-muridnya, qaul jadid Imam Syafi’I ini dicetusnya setelah bertemu dengan ulama
Mesir dan mempelajari fiqh serta hadist dari mereka serta adat istiadat,
situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’I merubah
sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak. Jika kandungan qaul jadid Imam Syafi’I ini adalah hasil
ijtihadnya setelah pindah ke Mesir. Qaul
jadidnya ini ditulis dalam kitab al-Umm.
Dr. Huzaemah
mengatakan, Pokok-pokok pikiran Imam Syafi’I dalam menginstinbatkan hokum
adalah[29]:
a. Al-Qur’an
dan al-Sunnah
Imam Syafi’I memandang
al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah
sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan
al-Qur’an, kecuali hadist ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadist
mutawatir. Di samping itu, meskipun al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu,
meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur’an.
Walaupun Imam Syafi’I berhujjah dengan hadist
ahad, namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Qur’an dan Hadist Mutawatir, karena hanya al-Qur’an dan
hadist mutawatir sajalah yang qath’iy tsubutnya, yang dikafirkan orang
yang mengingkarinya dan disuruh bertaubat.
Imam Syafi’I dalam
menerima hadist ahad mensyaratkan sebagai berikut:
1) Perawinya
terpercaya. Ia tidak menerima hadist dari orang yang tidak dipercaya.
2) Perawinya
berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
3) Perawinya
dhabith (kuat ingatannya).
4) Perawinya
benar-benar mendengar sendiri hadist itu dari orang yang menyampaikan
kepadanya.
5) Perawinya
itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.
b. Ijma’
Imam Syafi’I
mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujah dan ia menempatkan ijma’ ini sesudah
al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi’I menerima ijma’ sebagai
hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Ijma’ menurut pendapat
Imam Syafi’I adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan
ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam
Syafi’I mengakui, bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.
Ijma’ yang dipakai Imam
Syafi’I sebagai dalil hokum itu adalah ijma’ yang disandarkan kepada nash atau
ada landasan riwayat dari Rasulullah SAW. Secara tegas ia mengatakan, bahwa
ijma’ yang berstatus dalil hokum itu adalah ijma’ sahabat.
Imam Syafi’I hanya
mengambil ijma’ sharih sebagai dalil
hokum dan menolak ijma’ sukuti
menjadi dalil hokum. Alasannya menerima ijma’
sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari
semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan.
Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti,
karena tidak merupakan kesepatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid
menurutnya belum tentu menunjukkan setuju
c. Qiyas
Imam Syafi’I menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil
keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dalam menetapkan hokum.
Imam Syafi’I adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas
dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya, bahkan dalam praktek
ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui
mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Di sinilah Imam Syafi’I
tampil ke depan memilih metode qiyas
serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalm bentuk kaidah
rasional namun tetap praktis. Untuk itu Imam Syafi’I pantas diakui dengan penuh
penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hokum dalam Islam
sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.
Seperti pada Q.S.
an-Nisa’, ayat 59[30]:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taati Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah
(al-Qur’an) dan kepada Rasul (Sunnah), Jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
3. Karya-karya Imam Syafi’I, Murid-muridny serta
Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya
Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Qur’an, bahwa karya Imam
Syafi’I cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab.
Al-Qadhi Imam Syafi’I menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan
lain-lain.
Menurut Dr. Huzaemah, Kitab-kitab
karya Imam Syafi’I dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian[31]:
a. Kitab
yang ditulis Imam Syafi’I sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah (riwayat dari
muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’
ibn Sulaiman).
Kitab al-Umm berisi
masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’I
dalam al-Risalah.
b. Kitab
yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-Muzany dan
Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari Kitab Imam
Syafi’I: Al-Imla’ wa al-Amaly).
Kitab-kitab Imam
Syafi’I, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada muridnya, maupun
dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:
1) Kitab
al-Risalah, tentang ushul fiqh (riwayat Rabi’).
2) Kitab
al-Umm, sebuah kitab fiqh yang di dalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
3) Kitab
al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdaoat dalam kitab al-Umm yang
dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
4) Al-Imla’.
5) Al-Amaliy.
6) Harmalah
(didektekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
7) Mukhtashar
al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
8) Mukhtashar
al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
9) Kitab
Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’I tentang hadits-hadits Nabi SAW).
Kitab-Kitab Imam
Syafi’I dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di
Irak, di Mesir dan lain-lain.
Penyebaran mazhab
Syafi’I ini antara lain di Irak, lalu berkembang dan tersiar di Khurasan,
Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia
sesudah tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’I ini tersiar dan berkembang, bukan
hanya di Afrika, tetapi ke seluruh pelosok Negara-negara Islam, baik di Barat
maupun di Timur, yang dibawa oleh para muridnya dan pengikut-pengikutnya dari
satu negeri ke negeri lain, termasuk Indonesia. Jika kita melihat praktek
ibadah dan mu’amalah ummat Islam di Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab
Syafi’i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor[32]:
a)
Setelah adanya hubungan
Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum Muslimin Indonesia yang menunaikan
ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama.
Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I dan setelah kembali
ke Indonesia, mereka menyebarkannya.
b)
Hijrahnya kaum Muslimin
dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang penting pula bagi
tersiarnya mazhab Syafi’I di Indonesia. Ulama dari Hadhramaut adalah bermazhab
Syafi’i.
c)
Pemerintah kerajaan
Islam di Indonesia, selama zaman Islam menegaskan dan menetapkan mazhab Syafi’I
menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah
Hindia Belanda, terbukti pada masa-mas akhir kekuasaan Belanda di Indonesia,
kantor-kantor kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab
fiqh Syafi’iyyyah, seperti Kitab al-Thuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.
d)
Para pegawai jawatan
dahulu, hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’I, karena belum ada yang lainnya.
D. Imam Ahmad ibn Hanbal
1. Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal dan Latar
Belakang Pendidikannya
Imam
Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H./780
M. Tempat kediamannya ayah dan ibunya sebenarnya di kota Marwin, wilayah
Khurasan, tetapi di kala ia masih dalam kandungan, ibunya kebetulan pergi ke
Baghdad dan di sana melahirkan kandungannya.
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Hasan al-Syaibaniy.
Ibunya bernama Syarifah Maimunah binti Abd al-Malik ibnSawadah ibn Hindun
al-Syaibaniy. Jadi, baik dari pihak ayah, maupun dari pihak ibu, Imam Ahmad ibn
Hanbal berasal dari turunan Bani Syaiban, salah satu kabilah yang berdomisili
di semenanjung Arabia.
Pada mulanya Imam Ahmad Ibn Hanbal belajar ilmu fiqh pada
Abu Yusuf salah seorang murid Abu Hanifah. Kemudian ia beralih untuk belajar
hadits. Karena tidak henti-hentinya belajar hadits, sehingga ia banyak bertemu
para Syaikh Ahl al-Hadist. Ia menulis hadits dari guru-gurunya dalam sebuah
buku, sehingga ia terkenal sebagai seorang Imam al-Sunnah pada masanya.
Imam Ahmad ibn Hanbal belajar fiqh dari Imam Syafi’I, dan
Imam Syafi’I belajar hadits dari Imam Ahmad ibn Hanbal. Ia menjelajah ke
Kuffah, Bashrah, Makkah, Madinah, Syam, Yaman, dan Aljazirah untuk mengumpulkan
hadits. Karena banyak negeri yang dikunjunginya dalam rangka mengumpulkan
haist, maka ia mendapat julukan Imam Rihalah sebagaimana halnya Imam Syafi’i.
Ia berhasil mengumpulkan sejumlah besar hadits-hadits Nabi. Kumpulan
hadits-haditsnya itu disebut dengan Musnad Imam Ahmad.
Imam Ahmad mendapatkan guru-guru hadits terkenal,
diantaranya adalah: Sufyan ibn Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad, dan Yahya ibn
Qathan.
Imam Ahmad adalah salah seorang murid Imam Syafi’I yang
paling setia, sehingga ia tidak pernah berpisah dengan gurunya ke manapun guru
pergi kecuali setelah Imam Syafi’I pindah ke Mesir.
2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Menetapkan Hukum Islam
Ahmad
Amin dalam Dhuha al-Islam
menyimpulkan, bahwa sebenarnya fiqh Imam
Ahmad ibn Hanbal lebih banyak didasarkan pada hadits, yaitu apabila
terdapat hadist shahih, sama sekali tidak diperhatikan faktor-faktor lainnya
dan apabila didapati ada fatwa sahabat tersebut diamalkan. Tetapi apabila
didapati beberapa fatwa sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka dipilih
mana di antara fatwa sahabat tersebut yang mendekati al-Qur’an dan Sunnah.[33]
Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah. Dalam hal yang
demikian, kedua masalah tersebut diriwayatkan oleh Ibn Hanbal, dalam arti kedua
pendapat tersebut dipakai sebagai hujjah. Apabila didapati hadits mursal atau dha’if, maka hadits tersebut lebih dikuatkan daripada qiyas. Ia tidak menggunakan qiyas, kecuali dalam keadaan sangat
terpaksa. Ia juga tidak senang terhadap fatwa tanpa didasarkan pada atsar.
Adapun
metode Istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan
hukum adalah[34]:
a. Nas
dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih
Apabila beliau telah mendapati suatu nash
dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan
hukum adalah dengan nash itu, lain tidak.
b. Fatwa
para Sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash
yang jelas, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan
fatwa-fatwa dari para Sahabt Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan
mereka.
c. Fatwa
para Sahabat Nabi yang timbul dalam perselisihan di antara mereka dan
diambilnya yang lebih dekat kepada nash al-Qur’an dan Sunnah. Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menemukan fatwa
para sahabat Nabi yang disepakati sesame mereka, maka beliau menetapkan hokum
dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada
al-Qur’an dan Sunnah.
d. Hadits
mursal dan hadits dha’if
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan dari al-Qur’an dan Sunnah yang
shahihah serta fatwa-fatwa sahabat yang disepakati dan diperselisihkan, maka
beliau menetapkan hadits mursal dan hadits dha’if. Yang dimaksud dengan hadits dha’if oleh Imam Ahmad adalah
karena ia membagi hadits dalam dua kelompok: shahih dan dha’if; bukan
kepada: shahih, hasan, dan dha’if seperti kebanyakan ulama yang
lain.
e.
Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash, baik al-Qur’an dan Sunnah
yang shahihah serta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadits dha’if dan mursal, maka Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan
hokum menggunakan qiyas.
Kadang-kadang Imam Ahmad ibn Hanbal
pun menggunakan al-Mashalih al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad
pernah menetapkan hokum ta’zir
terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hokum had yang lebih berat terhadap orang yang
minum khamar pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut diikuti oleh
pengikut-pengikutnya. Begitu pula istihsan,
istihsan dan Sadd al-Zara’I, sekalipun Imam Ahmad itu sangat jarang
menggunakannya dalam menetapkan hokum.
3. Karya-karya Imam Ahmad ibn Hanbal,
Murid-muridny serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya
Menurut
Dr. Huzaemah,
Imam Ahmad ibn Hanbal selain seorang ahli
mengajar dan ahli mendidik, ia juga
seorang pengarang. Ia mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan
direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup
sesudahnya. Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut[35]:
a. Kitab
al-Musnad
b. Kitab
Tafsir al-Qur’an
c. Kitab
al-Nasikh wa al-Mansukh
d. Kitab
al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur’an
e. Kitab
Jawabatu al-Qur’an
f. Kitab
al-Tarikh
g. Kitab
Manasiku al-Kabir
h. Kitab
Manasiku al-Shaghir
i.
Kitab Ta’atu al-Rasul
j.
Kitab al-‘Illah
k. Kitab
al-Shalah
Ulama-ulama besar yang pernah mengambil
ilmu dari Imam Ahmad ibn Hanbal
antara lain adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibn Abi al-Dunya dan Ahmad ibn
Abi Hawarimy.
Tersiarnya mazhab Hanbali tidak seperti
tersiarnya mazhab lainnya. Mazhab ini mulai tersebar di Kota Baghdad tempat
kediaman Imam Ahmad ibn Hanbal,
kemudian berkembang pula ke negeri Syam. Oleh karena para sahabat Imam Ahmad ibn Hanbal sebagian berada di
Baghdad, maka berkembanglah mazhabnya dengan pesat di negeri ini yang
disebarluaskan oleh murid-muridnya. Mazhab ini tidak berkembang ke luar negeri
Irak, melainkan pada abad keempat Hijriyah. Kemudian berkembang ke Mesir pada
abad ketujuh Hijriyah dan pada saat sekarang, pengikutnya makin sedikit.
Sekarang mazhab Hanbali adalah mazhab
resmi dari pemerintah Saudi Arabia dan mempunyai pengikut yng tersebar di
Jazirah Arab, Palestuna, Syria dan Irak.
BAB 3
KESIMPULAN
Mazhab
merupakan hasil ijtihad dari seorang yang berkaitan dengan suatu masalah
tentang hukum islam .
Ketika
ingin bermazhab kepada suatu mazhab atau lebih , ada beberapa golongan yang
mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan hal tersebut :
d.
Golongan Pertama
Pada
Golongan pertama ini , mereka beranggapan bahwasannya ketika sudah berpegang
pada suatu mazhab , maka dia harus tetap berpegang teguh pada mazhabnya itu ,
sehingga tidak boleh untuk berpindah-pindah .
e.
Golongan kedua
Pada golongan kedua ini ,
beranggapan bahwa berpindah mazhab itu tidak apa-apa . asalkan itu memang baik dan tidak boleh
hanya di ambil enaknya saja .
f.
Golongan ketiga
Pada golongan ini memperbolehkan
mengambil bermacam-macam mazhab walaupun hanya di ambil enaknya saja.
Dapat
disimpulkan bahwa dalam mengambil hokum terdapat perbedaan-perbedaan sebagai
daftar di bawah, yaitu[36]:
a. Sumber
Madzhab Hanafi :
1. Al-Qur’an
al-Karim.
2. Sunnah
Rasul yang sahih-sahih dan masyhur saja.
3. Ijma’
sahabat Nabi.
4. Qiyas
(pendapat).
5. Istihsan
(pendapat).
b. Sumber
Madzhab Maliki :
1. Al-Qur’an
al-Karim.
2. Sunnah
Rasul yang sahih menurut pandangan beliau.
3. ‘Amalan
para Ulama ahli Madinah ketika itu.
4. Qiyas
(pendapat).
5. Masalihul-mursalah
(kepentingan umum).
c. Sumber
Madzhab Syafi’I :
1. Al-Qur’an
al-Karim.
2. Hasits
yang sahih menurut pandangan beliau. (Hadits shahih mutawatir, hadits
sahih-aahaad, hadits shahih masyhur).
3. Ijma’
para Mujtahid.
4. Qiyas.
d. Sumber
Madzhab Hanbali :
1. Al-Qur’an
al-Karim.
2. Ijma’
sahabat Nabi.
3. Hadits,
termasuk hadits Mursal dan Hadits Dha’if.
4. Qiyas
(pendapat).
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Zahra, Muhammad. 1996. Tarikh al Madzahib al Islamiya. Mesir : Dar al
Fikr al Araby.
Ahmad
Faidy Haris . 2012. The Spirit Of Islamic
Law ( Membongkar teori berhukum statis
menuju hukum islam dinamis ). Yogyakarta
: SUKA Press , 2012
Abdul
wahab Afif .
1995. Pengantar
Studi Perbandingan Mazhab . Jakarta
: Darul Ulum Press
Abbas, K.H. Sirajuddin.1972.Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’I,
Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, al-Qahirah: Maktabah al-Nadhah al-Mishriyyah, 1965
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Woman,
Bogor: PT Sygma
Examedia
Arkanleema, 2007
Fakhruddin,
2009. Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Empat Mazhab Fiqih.
Malang: UIN Malang Press.
Hasan,
M Ali. 1996. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khudhary Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Singapura: al-Haramain, ttt
Tahido Yanggo,
Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos.
Tahido Yanggo, Dr. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta:
Logos, 1997
Syukur,Asywadie.1994.Perbandingan Mazhab.Surabaya : Bina Ilmu
[1] Sheikh Muhammad Sultan
Al-Ma’soomi Al-khajnadee.Following a
Mazhab. (Diposting di http://www.thereligionislam.com/islamicideology/followingamazhab.htm ).
2-26-2014 11.59 AM
[2] Anonim.Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Mazhab
Fiqih dan Ushul Fiqih . http://henker17.blogspot.com/2013/09/sejarah-kemunculan-dan-perkembangan.html. 2-26-2014 12.30
[3] Asywadie Syukur , Perbandingan
Mazhab .( Surabaya . Bina Ilmu . 1994 ) hlm 31
[4] M.Ali Hasan , Perbandingan
Mazhab . ( Jakarta , Raja Grafindo Persada , 1995 ) Hal 86
[5] Ahmad Faidy Haris , The Spirit
Of Islamic Law ( Membongkar teori berhukum statis menuju hukum islam dinamis ).
( Yogyakarta : SUKA Press , 2012 ) hal 15
[6] Abdul wahab Afif , Pengantar
Studi Perbandingan Mazhab ) . ( Jakarta : Darul Ulum Press , 1995 ) hlm
75-78
[7] Huzaemah Tahido Yanggo , Pengantar
Perbandingan Mazhab . ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu , 1996 ) Hal 78
[8] Ibid hlm 86
[11] Fakhruddin, Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Empat
Mazhab Fiqih. Malang: UIN Malang Press, 2009. Hlm 145
[22] Fakhruddin, Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Islam.
Malang : UIN Malang Press, 2009. Hlm. 121
[24] Fakhruddin, Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Islam.
Malang : UIN Malang Press, 2009. Hlm. 122
[25] Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997)
hlm. 120-121.
[26] Khudary
Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Singapura: al-Haramain, tth)
[28] Dr. Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997) hlm.
120-123.
[30] Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Woman (Bogor: PT Sygma Examedia
Arkanleema, 2007) hlm.87
[31] Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997)
hlm. 134-137.
[34] Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997)
hlm. 142-143.
[35] Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997)
hlm. 144-145.
[36] K.H.
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’I (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1972) hlm.108-109