Minggu, 02 Maret 2014

Konstruksi Metodologi Formulasi hukum Islam era Ulama Madzhab


BAB I
PENDAHULUAN

I.                   LATAR BELAKANG
Mazhab adalah pendapat seseorang secara pribadi , penilaian dan interpretasi poin sah menurut ulama dan ahli hukum . Allah dan Nabi tidak memerintahkan kita untuk mengikuti pendapat dan interpretasi . Ada kemungkinan yang benar atau salah dalam pendapat dan interpretasi mereka . Ada banyak  imam memiliki pandangan yang berbeda dan mereka menjelaskan mereka sesuai dengan alasan dan spekulasi mereka sendiri . Tapi ketika kebenaran datang ke pengetahuan mereka , mereka mempertimbangkan kembali pendapat mereka sendiri dan menerima kebenaran . Mereka tidak pernah terjebak dengan pendapat mereka ketika sebuah hadis benar datang ke pengetahuan mereka .[1]
Islam hanyalah bersaksi bahwa tiada tuhan yang Maha Esa kecuali ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SWA utusan ALLAH . Selain itu islam hanyalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT yaitu syahadat , sholat , puasa , zakat , dan haji jika yang mampu ( Rukun islam ) . Apabila  seseorang melakukan hal tersebut dengan tata cara para mujtahid , maka itu hanyalah di khususkan untuk mereka saja . Sehingga hal tersebut seharusnya tidak menjadi suatu perdebatan .
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y.Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah.Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak.[2]
Semenjak fikih islam lahir ke alam wujud , tidak terlepas dari masa pasang naik dan pasang surutnya . Dari masa titik pertumbuhan fikih islam berkembang dengan suburnya hingga sampai ke puncak kejayaan dan keemasannya , tetapi sesudah titik kesempurnaan ini , tiba pula masa beku yang membawa kemerosotan dan kemunduran . Tentu bagi orang yang mempelajari sejarah fikih islam ingin mengetahui apa sebabnya yang membawa fikih islam menemui masa bekunya dan apa pula sebabnya yang mendorong fikih islam itu berkembang . Salah satuny adalah tentang sejarah dari mazhab – mazhab dari para fuqoha yang berjaya di masanya . Seperti halnya Maliki , Hanafi , Syafi’i , dan Hanbali . [3]
Dari pemaparan diatas , maka kami dari penulis ingin membahas lebih dalam tentang rekontruksi atau formulasi hukum islam yang telah terjadi di masa para mazhab terutama oleh para imam empat mazhab .

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana cara para imam mazhab berinstinbat dalam menetapkan hukum ?
2.      Bagaimana Kontribusi para imam mazhab dalam perkembangan islam ?
3.      Bagaimana Menyikapi perbedaan diantara mazhab-mazhab ?

III.             TUJUAN DAN MANFAAT
1.      Mengetahui cara para imam mazhab beristinbat dalam menetapkan suatu hukum
2.      Mengetahui kontribusi para imam dalam perkembangan islam
3.      Mengetahui cara untuk menyikapi perbedaan diantara mazhab – mazhab

















BAB II
PEMBAHASAN

I.                   PENGERTIAN MADZHAB
Menurut bahasa mazhab berarti “ jalan atau tempat yang dilalui “. Mazhab juga berarti “ pendirian tau al-taqad “. Menurut istilah para faqih mazhab mempunyai dua pengertian yaitu :
1.                  Pendapat salah seorang imam mujtahi tentang hukum suatu masalah.
2.                  Kaidah – kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang Imam .
            Sehingga , mazhab merupakan hasil ijtihad dari seorang yang berkaitan dengan suatu masalah tentang hukum islam .
            Menurut Abul Hasan al-Kayya , bahwa bermazhab dengan pengertian yang pertama adalah orang awam , ahli fiqih , atau ulama lain yang belum mencapai martabat mujtahid . Sedangkan bermazhab menurut pengertian yang kedua itu adalah untuk ulama yang tidak sanggup merumuskan kaidah – kaidah istinbath . Apabila mereka ingin menggali hukum untuk suatu permasalahan , maka mereka harus bermazhab , berpegang kepada kaidah – kaidah istinbath yang di anut oleh imamnya .[4]
            Perkembangan mazhab itu sendiri mulai muncul setelah masa sahabat dan tabi’en . Ketika itu ada 13 aliran mazhab , yang semuanya itu tergolong dalam mazhab ahlusunnah dan pada periode itulah kelembagaan fiqih dan pembukuan fiqih mulai dikodifikasikan secara baik sehingga memungkinkan para pengikutnya semakin banyak dan kokok . Namun pada perkembangan selanjutnya dari 13 belas mazhab tersebut , hanya Sembilan mazhab yang dapat dilacak .

Sembilan mazhab itu adalah :[5]
1.                  Imam Abu Sa’id a;-hasan bin yasar al-basri
2.                  Imam abu hanifah an-nu’man bin sabit bin zauti
3.                  Imam auza’I abu amru Abdurrahman bin amru bin Muhammad
4.                  Imam sufyan bin sa’id sa’ad
5.                  Imam Al-lais bin sa’ad
6.                  Imam malik bin anas al’asbahi
7.                  Imam Sufyan bin Uyainah
8.                  Imam Muhammad bin idris al-syafi’i
9.                  Imam ahmad bin hanbal
            Sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Wahab Afif , Sebab – sebab terjadinya ikhtilaf dapat terbagi menjadi 4 persoalan , antara lain :[6]
1.                  Perbedaan Pemahaman terhadap al-qur’an dan as-sunah
2.                  Sebab-sebab khusus tentang sunnah Rasul SAW ( Sanad dan matannya )
3.                  Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah usuliyah atau fiqhiyyah
4.                  Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil diluar al-qur’an dan as-sunnah




Ketika ingin bermazhab kepada suatu mazhab atau lebih , ada beberapa golongan yang mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan hal tersebut :
a.                   Golongan Pertama
Pada Golongan pertama ini , mereka beranggapan bahwasannya ketika sudah berpegang pada suatu mazhab , maka dia harus tetap berpegang teguh pada mazhabnya itu , sehingga tidak boleh untuk berpindah-pindah .
b.                  Golongan kedua
Pada golongan kedua ini , beranggapan bahwa berpindah mazhab itu tidak apa-apa  . asalkan itu memang baik dan tidak boleh hanya di ambil enaknya saja .
c.                   Golongan ketigas
Pada golongan ini memperbolehkan mengambil bermacam-macam mazhab walaupun hanya di ambil enaknya saja.

II.                MACAM-MACAM MADZHAB
1.      Ahl al-sunnah wa al-jama’ah
a.       Ahl al-ra’yi
Pada mazhab ahl al-ra’yi ini , yang digunakan adalah murni dari akal seorang mujtahid . Ulama yang menggunakan akal ini adalah Imam Abu Hanifah . Imam Abu hanifah madalah imam yang rasional , yang mendasarkan ajarannya dari al-qur’an dan sunnah , ijma , qiyas serta ihtisan
b.      Ahlal-hadits
Mazhab ini lebih banyak menggunakan hadits dalam berijtihad daripada menggunakan akal , yang penting hadits yang digunakan itu shahih . Yang termasuk dalam mazhab ini adalah :[7]
-          Mazhab Maliki
-          Mazhab Syafi’i
-          Mazhab Hanbali
-          Mazhab Zhahirir’
2.      Syi’ah
Syiah merupakan golongan yang sangat fanatik dengan salah satu khulafaur rasyidin yaitu Ali bin Abi Thalib . Namun setelah Ali bin Abi Thalib telah wafat , syiah terpecah belah menjadi beberapa golongan .  Golongan syiah tersebut adalah :
-          Syi’ah Zaidiyah
-          Syiah Imamiyah
3.      Mazhab yang telah musnah
Sebenarnya banyak para fuqoha – fuqoha yang mempunyai mazhabnya sendiri-sendiri , namun dikarenakan semakin banyaknya umat islam yang fanatik terhadap satu mazhab , mengakibatkan banyak mazhab – mazhab yang hilang dengan sendirinya . Diantara mazhab – mazhab yang kurang berkembang antara lain :
-          Abu ‘Amr Abd
-          Abu Sulaiman Daud bin Ali bin Khalaf al-Ashbahani yang terkenal dengan al-Zhahiri .
Tujuan dan Manfaat mempelajari perbandingan mazhab :[8]
-          Untuk mengetahui pendapat – pendapat para imam mazhab ( para imam mujtahid ) dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath hukum dari dalilnya oleh mereka.
-          Untuk mengetahui dasar-dasar dan aqidah yang digunakan setiap imam mazhab dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya
-          Dengan memperhatikan landasan berpikir para imam mazhab , orang yang melakukan studi perbandingan mazhab , orang yang melakukan studi perbandingan mazhab dapat mengetahui .

III.           PERANAN IMAM-IMAM MADZHAB DALAM HUKUM ISLAM

A.    Imam Abu Haifah
1.      Biografi Imam Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya
Naman lengkap Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al- Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al- Taimy. Lebih kenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari keturunan Parsi, lahir di Kuffah tahun 80/699M dan wafat di Baghdad tahun tahun 150H/767M. Beliau menjalani hidup di dua lingkungan sosio politik, yakni masa akhir dinasi Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah adalah pendiri madzhab Hanafi yang terkenal dengan “al-Imam al-A’zham” yang berarti Imam Terbesar. Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanif karena ia selalu berteman dengan tinta (dawat), dan kata Hanifah (حنيفة) menurut bahasa arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senariasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuna yang diperoleh dari teman-temannya.
Kecerdasan Abu Hanifah dapat diketahui melalui pengakuan dan pernyataan para ilmuwan, diantaranya :[9]
Ø  Imam Ibn Malik pernah berkata : “Aku belum pernah melihat seorang laki-laki lebih cerdik daripada Imam Abu Hanifah”.
Ø  Imam Ali bin Ashim berkata :”Jika kiranya ditimbng akal Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan.”
Ø  Raja Harun al Rasyid berkata :”Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya.”
Ø  Imam Abu Yusuf berkata : “Aku belum pernah bersahabat dengan seorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah.”
Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 63H/682M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim Al-Nakha’i lalu Hammad Ibn Abi Sulaiman AL-Asy’ari (wafat 120H). Hammad Ibn Sulaiman adalah seorang imam terkemuka ketika itu. Ia murid dari ‘Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuriah. Keduanya dalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kufah dari golongan Tabi’in. Dari Hammad bn Abi Sulaiman inilah Abu Hanifah belajar ilmu fiqih dan hadis.
Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqih dan hadis sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, Majlis Madrasah Kufah sepakat unti mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar pemikiran madzhab hanafi yang dikenal sekarang ini.
Abu Hanifah berhasil mendidik dan menempa ratusan murid yang memiliki pengetahuan luas dalam masalah fiqih. Puluhan dari muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, Saljuk, ‘Usmani dan Mughal. Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan selalu memberi nasehat kepadanya, antara lain Imam ‘Amir ibn Syahril al-Sya’bani dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’ari. Ia mempelajari qira’at dan tajwid dari Idris ‘Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada perintah gurunya.[10]
2.      Pola Pemikiran dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abu Hanifah dalam Menetapkan Hukum Islam.
Pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Abu Hanifah pernah ditawari beberapa jabatan resmi, seperti di Kufah yang ditawarkan oleh Yazid bin Umar (pembesar kerajaan), akan tetapi Abu hanifah menolaknya. Pada masa dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al Manshur pernah pula meminta kedatangannya di Baghdad untuk diberi jabatan sebagai hakim, namun ia menolaknya. Akibat penolakan itu ia dipenjarakan samapi meninggal dunia. Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja’far al Manshur (754-775M) sebagai ibuk kota kerajaan tahun 762M.
Baghdad pada mas hidup Abu hanifah merupakan salah satu kota metropolitan. Disamping itu baghdad merupakan tempat beraneka mazhab, pendapat dan kemewahan., maka tidaklah heran jika sekiranya lahir dari satu gagasn yang menyatukan hidup modern dan nash-nash agama. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan timbulnya satu cara untuk mencari jalan agar mengemukakakn diantara apa yang sedang terjadi didalam masyarakat dan nash-nsah hukum agama.[11]
Dalam menetapkan suatu hukum, disamping Al-Qur’an tentu hadis/sunah rasul tidak beliau abaikan. Hal ini sengaja ditetapkan supaya tidak ada kesan bahwa beliau kurang memperhatikan Sunah Rasul. Abu Hanifah sendiri pernah berkata: “ jauhilah olehmu memperkatakan urusan agamaa Allah menurut pendapat sendiri, tidak menurut Hadis-hadis Nabi.”Beliau memang sangat selektif terhadap hadis, sehingga hadis yang dipandang lemah beliau tinggalkan dan lebih mengutamakan rasio (analogi atau qiyas).[12]
Adapun metode istidlal (menetapkan hukum syara’) Imam Abu hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri:” sesungguhnya saya mengambil kitab Al qur’an dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam Al Qur’an maka saya mengambil dari Sunnah Rasul SAW. Yang shahih dan tersyiar dikalangan orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itusampai pada Ibrahim al sya’bi, Hasab ibn sirin dan Said ibn Musayyah maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Abu hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan “Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar,”. Pernah ada orang yang berkata kepadanya, :Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?” ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adlah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan diatas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya (petunjukknya) secara qath’iy (jelas) dari Al Qur’an atau dari hadis yang diragukan keshahihannya, ia selalu mendapatkan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadis. Imam Abu Hanifah memperhatikan mu’amalat manusia, adat istiadat serta ‘urf mereka. Beliau berpegang pada qiyas dan apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan qiyas, beliau berpegang pada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak belua berpegang  pada ‘urf dan adat istiadat.
Dalam menetapkan hukum, Abu hanifah dipengaruhi hukum di Kufah, yang banyak mengetahui hadis. Di Kufah kurang perbendaharaan hadis, disamping itu Kufah sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang  memerlukan penetapan hukum. Karena problema itu belum pernah terjadi dizaman Rasulullah, sahabat atau tabi’in, maka untuk mengatasinya memerlukan ijtihad dan ra’yi (keyakinan). Para ahli hukum di Kufah (Irak) merumuskan ketentuan hukum mereka dari pendapat dan pertimbangan sahabat, seperti Ali Abdullah ibn Mas’ud dan para tabiin seperti : Al qamah, Al aswad, Ibrahim al nakha’iy, dll. Pemikiran para pakar hukum diirak ini diwarisi oleh Abu hanifah dengan mempelajari ketentuan hukum terdahulu dari mereka dan melakukan perbincangan dengan pakar hukum sezamannya dalam mengambil keputusan-keputusan. Kemudian ia melakukan ijtihad dengan menetapkan keputusan-keputusan. Kemudian ia melakukan ijtihad dengan tetap memelihara semangat dan praktek yang berlaku di Kufah ketika itu. Metode Abu Hanifah ini pengaruhnya tersebar luas dan menjadi simbol kristalisasi dalam tradisi Irak.
Melihat perkembangan sejarah yang terus bergulir dan berputar, zaman terus berubah dan masyarakatpun mengalami perubahan, maka sejak awal tokoh-tokoh mazhab sudah melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ketika itu. Abu hanifah menolak sebagian hadis yang diragukan keshahihannya dan hanya bertumpu pada Al qur’an. Melalui qiyas ia berusaha agar ayat-ayat Al qur’an dapat disesuaikan pada tiap ragam keadaan.
Mazhab hanafi menggambarkan upaya penyesuaian hukum islam dengan kebutuhan masyarakat dalam segala bidang. Imam Hanafi banayk sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam menetapka suatu hukum adalah :[13]
a.       Al Qur’an
Yaitu sumber pokok ajaran islam yang memberi sinar pembentukan Hukum Islam sampai akhir zaman. Segala permaslahan hukum agama merujuk kepada al kitab tersebut kepada jiwa kandungannya.
b.      As Sunnah
Yaitu berfungsi sebagai penjelasan al kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
c.       Aqwalus shahabah (Perkatan Sahabat)
Para sahabat itu adalah termasuk orang yangmembantu menyampaikan risalah Allah, mereka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al qur’an ( walaupun tidak semua sahabat mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah. Sehingga meraka tahu bagaimana kaitan hadis Nabi dengan ayat Al qur’an yang diturunkan itu.
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah, karena menurut mereka orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya. Dengan demikian pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat dengan kebenaran tersebut. Oleh sebab itu pernyataan hukum mereka dapat dikutip untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Ketetapan sahabat ada dua bentuk, yaitu ketetapan hukum dalam bentuk ijmak dan ketentuan hukum dlaam bentuk fatwa.
d.      Al Qiyas
Apabila dalam Al qur’an, sunnah, perkataan sahabat tidak menemukan jalan, maka beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada nash yang ada setelahmemperhatikan illatnya yang sama antara keduanya.
e.       Al Istihsan
Menurut hahasa berarti “ menganggap baik atau mencari yang baik”. Menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan berpegang teguh kepada hukum yang bersifat pengecualian karena dalil yang memperkuatnya.
Menurut pendapat sebagian ulama, Abu hanifah terlalu maju melangkah kedepan dalam menetapkan hukum islam, dan dikenal bahwa beliau disebut dengan “Ahlu Ra’yi”. Dibawah ini contoh-contoh istihsan :[14]
v  Menurut mazhab Hanafi, bila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwakafkan itu hak pengairan dan hak membuat saluran air diatas tanah itu. Hal ini ditetapkan berdasarkan istihsan.
Berdasarkan qiyas jali (jelas illatnya), hak-hak tersebut tidak diperoleh karena diqiyaskan kepada jual beli. Pada masalah jual beli yang penting adalah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
Apabila wakaf diqiyaskan kepada jualbeli, maka yang terpentng itu pemindahan hak milik. Sedangkan menurut istihsana, hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan wakaf itu kepada sewa menyewa. Dalam soal sewa menyewa yang terpenting adalah pemindahan hak untuk memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewanya. Demikian pula halnya dengan wakaf, yang penting adlah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan.
Sebidang tanah pertanian hanya dapat dimanfaaatkan, jika memperoleh pengairan. Jika wakaf itu diqiyaskan jual beli, maka tujuan wakaf itu tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamanka aadlah pemindahan hak milik. Supaya tujuan tercapai perlu dicarikan dasar yang lain, yaitu sewa menyewa. Kedua persamaan ini ada persamaan illatnya, yaitu mengutamakan manfaat barang itu, teteapi qiyasnya adalah qiyas khafi (qiyas samar). Karena ada suatu kepentingan maka dilakukan pemindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi yang disebut dengan Istihsan.
v  Menurut mazhab Hanafi, sisa minuman burung-burung buas seperti gagak, rajawali dan elang adalah suci berdasarkan istihsan dan najis berdasarkan qiyas. Sisa minuman binatang buas seperti singa, serigala, dan harimau adalah haram, karena dagingnya haram. Burung-burung buas dagingnya juga haram, karena diqiyaskan pada binatang buas dan karena itu sisa minumannya juga haram.
Berdasarkan istihsan, burung buas meskipun dagingnya haram tetapi air liurnya berasal dari  dagingnya tidak dicampur dengan air sisa minumnya, karena ia mnum dengan paruhnya dan paruhnya itu sebagian dari tulangnya, sedangkan tulangnya suci. Oelh sebab itu sisa minumannya tetap suci.
Berbeda dengan binatang buas yang minum dengan lidahnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa air minumnya dan karena itu ia najis. Kedua jenis binatang tadi sama-sama haram, karena sama-sama buas tetapicara minumnya berbeda sehingga yang stu tercampur sedangkan yang satunya tidak tercampur.
v  Syara’ melarang jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad terhadap suatu barang yang belum ada pada saat jual beli itu dilakukan. Ketentuan semacam ini berlaku untuk semua kegiatan jua beli.
Tetapi dalam hal tertentu syara’ memberikan rukhshah (keringanan, dispensasi) dan diperkenankan jual beli dengan cara pesanan (salam). Keringanan itu diperlukan untuk memudahkan lalu lintas perdagangan. Pemberian rukhshah ini pengecualian dan ketentuan umum karen sangat diperlukan masyarakat.
f.       ‘Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai, lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apaynag mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bial tidak menemukan didalam Al qur’an , sunnah, ijmak atau qiyas dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara qiyas), beliau melakukan atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakuakan, beliau kembali pada ‘urf manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memperhatikan ‘urf manusia apabila tidak ada nash Kitab, nash Sunnah, Ijmak, Qiyas, dan Istihsan.[15]
‘Urf menurut bahasa berarti apa yang bisa dilakukan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan perkataan lain adat istiadat.
Contoh ‘Urf ialah kebiasaan dalam perkataan, yakni perkataan walad yang biasa diartikan untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Contoh kebiasaan dalam perbuatan ialah jual beli dengan jalan serah terima, tanpa menggunakan ijab kabul. Prinsip ‘Urf ini bukan saja diriwayatkan dari Abu Hanifah bahkan juga diriwayatkan dari imam-imam lain dalam mazhabnya.
Para ulama menetapkan ‘urf sebagai dasar tasyri’, manakala tidak terdapat dalil tasyri’. Akan tetapi terkadang meninggalkan manakala ‘urf itu menyalahi nash seperti menyuguhkan minuman keras dalam pesta besar. Hal ini jelas ditolak karena bertentangan dengan nash.
Demikianlah ketentuan ‘urf dalam fiqih Abu hanifah.
3.      Karya-karya Abu Hanifah, Murid-muridnya serta Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya
Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar, yaitu : Fiqh akbar, al ‘Alim wa al Muta’alim, dan Musnad Fiqh Akbar. Sebuah majalah ringkasan yang sangat terkenal.disamping itu Abu Hanifah membentuk kelembagaan yang terdiri dari tokoh-tokoh cendikiawan dan ia sendiri sebagai ketuanya. Kelembagaan ini berfungsi sebagai mewusyawarahkan dan menetapkan ajaran islam dalam bentuk tulisan dan mengalihkan syari’at islam kedalam undang-undang.
Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kuffah dan membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal didunia islam :
a)      Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al Anshary (113-182H)
b)      Muhammad ibn Hasan al Syaibany (132-189H)
c)      Zufar ibn Huzailibn al Kufy (110-158H)
d)     Al Hasan ibn Ziyad al Lu’luiy (133-204H)
e)      Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah fikiran Abu Hanifah adalah Muhammad al Syaibany yang terkenal dengna al kutub al sittah (enam kitab) yaitu:
1.      Kitab al Masbuth.
2.      Kitab al Ziyadad.
3.      Kitab al Jami’ al Shaghir.
4.      Kitab al Jami’ al Kabir.
5.      Kitab al Sair al Shaghir.
6.      Kitab al Sair al Kabir.
Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh besar dalam dunia islam, khususnya umat islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya        tersebar diberbagai negara, seperti Irak, Turki, Asia tengah, Pakistan, India, Turkistan, Syiria, Mesir dan Libanon. Mazhab Hanafi pada masa khalifah Bani Abbas merupakan mazhab yang banyak dianut oleh umat islam dan pemerintah kerajaan Usmani.[16]
B.     Imam Malik bin Anas
1.      Biografi dan latar belakang pendidikan Imam Malik bin Anas
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan dikota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/12M, dan wafatnya pada hari Ahad, 10 Rabiul awal 179H/798M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah dibawah kekuasaan Harun Al Rasyid. Nama lengkapnya beliau adalah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn al Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Ashbah, sebuah dusun dikota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama Siti al ‘Aliyah binti Syuraik ibn Abd Rahman ibn Syuraik al Azdiyah. Imam Malik berada daam kandungan rahim ibunya selama dua tahun.[17]
Beliau belajar fiqih kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabi’ah al Ra’yi (wafat tahun 136 H). Kepandaian Imam Maliki tentang pengetahuan ilmu agama dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya, seperti pernyataan Imam Hanafi yang menyebutkan bahwa: “beliau tidak pernah menjumpai seorangpun yang lebih alim dari pada Imam Malik. Bahkan Imam al Laits bin Sa’ad pernah berkata, bahwa “ Pengetahuan Imam Maliki adalah pengetahuan orang yang takwa kepada Allah dan boleh dipercayai bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil pengetahuan.”
Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu Hadis kepada Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab al Zuhry.
2.      Pola Pemikiran dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Malik dalam Menetapkan Hukum Islam.
Imam Malik adalah seorang mujahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai sorang ulama terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Apabila diajukan kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa.[18]

Imam Abu Hanifah pernah berkata :
“ Aku memberikan hukum berdasarkan al Qur’an. Apabila aku tidak menjumpai dalam al Qur’an maka aku gunakan hadis Rasulullah saw, dan jika tidak ada dalam keduanya, maka aku dasarkan pada pendapat para sahabat-sahabatnya. Aku berpegang teguh kepada pendapat siapa saja dari para sahabat yang akau kehendaki dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang teguh kepada satu pendapat saja. Adapun jika permasalahan berhenti pada Ibrahim, Sya’bi, Ibn Sirin, Atha’ dan Sa’id ibn Musayyab... suatu kaum berijtihad, maka aku juga berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. “[19]
Cara-cara beliau memberi fatwa bisa dilihat dari cara beliau memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan beliau. Beberapa ulama meriwayatkan , Imam Malik berkata :”Saya tidak memberi fatwa-fatwa dan meriwayatkan hadis, sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakuinya”. Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain setelah disaksikan 70 orang ulama, dan mereka itu menetapkan dan sepakat, bahwa beliau seorang yang ahli dlam masalah yang difatwakan.
Dalam bidang Aqa’id Imam Malik memiliki pendirian yang tegas dalam memegang prinsip. Sebaik-baik urusan agama adalah yang telah menjadi sunnah dan sejelek-jelek urusan adlaah yang diada-adakan. Oleh sebab itu beliau menolak segala macam akidah yang ditimbulkan dari partai-partai islam dan mengenai akidah beliau berpegang teguh pada apa yang ditunjuki nash. Beliau berpendapat, bahwa iman adalah gabungan dari iktikad hati, ucapan lidah dan amal anggota dan iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Mengenai Qadar, beliau berdiri seimbang, artinya bahwa segala perbuatan manusia terjadi dengan ciptaan Allah, tetapi manusia punya daya usaha untuk mengusahakannya, karena manusia dibalas dikelak segala amal perbuatannya.
Mengenai kemakhlukan Al Qur’an yang dikembangkan oleh al Jaham dan dianut oleh Qadariah dan Muktazilah yang sebenernya tidak dapat dianggap menyimpang dari agama. Maliki tidak mengatakannya. Sebenarnya kita tidak perlu menyesatkan orang yang mengatakan kemakhlukan Al Qur’an, karena mereka percaya bahwa al Qur’an itu turun dari Allah.[20]  
Ø  Pesan Imam Malik Mengenai Bid’ah
Sebagaimana telah diungkapkan diatas,bahwa Imam Malik adalah seorang alim besar yang amat cinta kepada Sunnah Nabi SAW. Dan sangat benci terhadap orang yang membuat model baru tentang urusan agama dan perbuatan yang dalam istilah agama “bid’ah”. Beliau sangat keras terhadap bid’ah dan ahli bid’ah, antara lain beliau pernah bersyair yang artinya :”sebaik-baik urusan agama adalah mengikuti Sunnah Nabi dan sejlek-jelek uruusan agama adalah perbuatan baru”. Artinya bahwa sebaik-baik urusan agama mengenai peribadatan adalah yang mengikuti pimpinan Nabi atau Sunnah Nabi dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari Nabi dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Nabi.
Pada kesempatan yang berbeda beliau pernah berkata :”Barang siapa yang mengada-ada suatu perbuatan baru dalam urusan agama islam dan ia telah menganggap bahwa perbuatan itu baik, maka sesungguhnya berarti ia telah menuduh bahwa Nabi telah berfirman : Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi engkau akan agamamu...
Oleh sebab itu apapun yang tidak menjadi agama pada masa itu, tidak akan menjadi agama pada masa yang lain. Artinya bahwa orang yang memandang perbuatan yang baru itu baik, berarti menganggap Nabi tidak sempurna dalam menyampaikan risalahnya kepada ummat manusia.
Ø  Nasehat Imam Maliki Terhadap Sikap Taqlid
Sebagai mufti besar , dan sebagai seorang ahli hadis beliau tidak pernah mengajarkan atau memberikan pimpinan kepada muridnya supaya mengekor( bertaqlid) terhadap pendapatatau buah penyelidikan beliau bahkan amat berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal haram dang sangat melarang orang bertaqlid buta, dan sebagai bukti ada beberapa pesan beliau:
Imam Malik pernah berkata:”Saya seorang manusia, dan saya terkadang salah terkadang benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, jika sesuai dengan al Qur’an dan sunnah maka ambilah dia dan jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”. Artinya bahwa beliau menjatuhkan hukuman dalam maslah keagamaan, dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash al Qur’an dan sunnah, maka masing-masing kita disuruh untuk melihat dan memperhatikanya kembali dengan baik tentang buah pikiran beliau itu. Maksudnya semua pikiran yang diutarakannya terlebih dahulu harus dicocokkan dengan al Qur’an dan sunnah.
Pasa suatu waktu beliau juga pernah berkata bahwa :” Tidaklah semua perkataan itu lalu diturut sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Kita tadak mesti mengikuti perkataan orang dengan sembarangan meskipun orang itu punya kelebihan, ketinggian derajat atau terpandang mulia. Kalau perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi hukum-hukum Rasul, maka kita tidak diperbolehkan untuk tidak mengikutinya.[21]
Hukum fiqih yang diberikan Imam Malik adalah berdasarkan kepada Al Qur’an dan hadis. Imam Malik menjadikan hadis sebagai pembantu dalam memamhami Al qur’an. Iamam Malik sangat berhati-hati tentang riwayat-riwayat hadis karena menjaga dari kekeliruan diantara hadis shahih dan hadis dhaif. Beliau menganggap perbuatan atau amalan penduduk Madinah sebagai Hujjah dan sumber yang penting dalam hukum fiqih.[22]
Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadis. Hal ini terlihat dari perkataan para ulama, diantaranya Imam Syafi’i yang mengatakan:”Apabila datang kepadamu hadis dari Imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu, karena dia menjadi hujjah bagimu”. Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau pernah berkata:”saya tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadis sehingga 70 ulama memenarkan dan mengakui”.

Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum islam adalah berpegang kepada :
a.       Al Qur’an
Dalam memegang al Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash al Qur’an atau keumumannya meliputi mafhum al mukhalafah dan mafhum al aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b.      Sunnah
Dalam berbegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang teguh pada Al Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arri ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertantangan antara ma’na zahir al qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, sekalipun jelas maka yang dipegang adalah makna zahir al Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh al sunnah tersebut dikuatkan oleh Ijma’ ahl al Madinah, maka ia lebih mengutamakan yang terkandung dalam sunah daripada zahir al Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah al Mutawatirah atau al Masyhurah).
c.       Ijma’ Ahl Al Madinah
Ijma’ ahl madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al madinah yang asalanya dari al naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW., bukan dari hasil ijtihad ahl madinah, seperti tentang ukuran mud, sha’ dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW. Atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan ditempat yang tinggi. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan ijma’ahl al madinah adalah ijma’ahl ala madinah apda amsa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan hujjah. Ijma’ ahl al madinah yang berasal dari al naql, sudah merupakan hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ahl al madinah  lebi diutamakan daripada khabar ahad, sebab ijma’ahl ala madinah merupakan pemberitaan oleh jamaah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan.
Ijma’ ahl al madinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu :
1)      Kesepaktaan ahl al madinah yang berasal dari al Naql.
2)      Amalan ahl al Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijma’ahl al Madinah yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi pernah diketahui ada amalan ahl al Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW.
3)      Amalan Ahl al madinah ini dijadikan pendukung tanau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, apabila ada dua dalil yang satu sama lain saling bertentangan, sedangkan untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan amal al madinah, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl al madinah, maka dalil yan diperkuat oleh amlaan ahl ala madinah itulah yang dijadikan hujjah menurut mazhab Malik.
4)      Amalan ahl al madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl ala madinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut al Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama dikalangan mazhab Maliki.[23]
d.      Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan sahabat adalah sahabat besar yang berpengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan  pada al Naql. Ini berarti, bahwa yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adlah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat tresebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Adakalanya Imam Malik juga menggunakan fatwa tabi’in besar sebgaia pegangan dalam menentukan hukum.
Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu juga ijma’ sahabat yang masih diperselisihkan diantara para ulama adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Dikalangan muta’akhirin mazhab Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai hujjah.
e.       Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesutau yang sudah dikenla oleh masyarakat Madinah, sekalipun hasil dari istinbath. Kecuali habar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia menggunakan Qiyas dari pada menggunakan khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer dikalangan masyarakat madinah, maka hal ini dianggap sebagai hukum sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal  dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasarsebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan maslahah.
f.       Al Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al istihsan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al istidlal al mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu, tidak berati hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasar pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan.
Dari ta’rif tersebut jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juzz’iyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum.
Istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinay diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu maslahah atau membawa kemadharatan  tertentu, maka ketentuan qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif. Terasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu hukum tertentu. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak yang merugikan, dampak suatu maslahat mendatangkan maslahat atau menghindarkan madharat.
Ibnu al ‘Araby salah seorang ulama malikiyah menyatakan bahwa :” istihsan menurut mazhab Maliki bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil lain yang lebih kuat yang kandungannya berbeda dari dalil yang ditinggalkan tersebut. Dalil yang kedua tersebut dapat berupa ijma’ atau ‘Urf atau maslahah mursalahatau qaidah “رَفْعُ اْلحَرَجِ وَاْلُمَشَّقَةٌ " menghindarkan kesempitan dan kesulitan yang telah diakui syari’at akan sebenarnya.
g.      Al Maslahah al Mursalah
Maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau tidak disinggung oleh nash, dengan demikian maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al Qur’an Sunnah atau Ijma’.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syari’at untuk dipenuhi sebagai berikut :
v  Maslahah itu harus benar-benar maslahah menurut penelitian yang seksama, nukan sekedar diperkirakan secara sepintas
v  Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Artinya maslahah tersebut harus merupakan maslahah bagi kebanyakan orang.
v  Maslahaha itu harus bener-bener maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash dan ijma’.
h.      Saad al Dhari’ah
Imam Malik menggunakan saad al dhari’ah sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i.        Istishhab
Imam Malik menjadikan sistishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada dimasa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakininya adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tesebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Misalnya seorang yang telah yakin sudah berwudhu dan dikuatkan lagi, bahwa is baru saja menyelesaikan sholat shubuh, kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah batal atau belum wudhunya, maka hukum yang dimilki orang tersebut adalah bahwa belum batal wudhunya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudhu dan dikuatkan pula, bahwa ia belum melakukan suatu shalat apapun, bahwa ia baru hendak mengerjakan shalat, kemudian datang keraguan tentang sudah berwudhu atau belum. Maka hukum yang dimilki orang tersebut adalah bahwa dia belum berwudhu. Inilah yang disebut istishhab.
j.        Sya’ru Man Qablana Sya’ru Man Lana
Menurut Qadhy Abd Wahab al Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan qaidah “ Sya’ru Man Qablana Sya’ru Man Lana” sebagai landasn hukum. Menurut Abd Wahab Khallaf, bahwa apabila Al Qur’an dan sunnah mengisahkan suatu hukum yang pernah dilakukan oleh umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka  dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula dalam Al Qur’an atau Sunnah al Shahihah. Contohnya disebutkan dalam  surat Al Baqarah ayat 183 :
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Kemudian apabila kisah dalam Al Qur’an dan Sunnah al Shalihah menyatakan bahwa hukum-hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum-hukum seperti itu tidak lagi berlaku bagi kita. Contoh antara lain syari’at nabi Musa, dimana orang-orang dari umatnya jika berbuat maksiat, tidak dapat lagi  bertobat kecuali dengan cara bunuh diri. Hukum tersebut pernah diberlakukan buat Nabi Musa, tetapi tidak lagi diberlakukan buat kita.
Imam Malik dalam sejarah hidupnya hanya menetap dikota Madinah itu kecuali ke Mekkah hanya menetap ibadah haji, beliau sangat dipengaruhi amalan pendukduk Madinah.beliau begitu besar pengaruhnya sampai-sampai khabar ahad dapat diterima oleh beliau jika tidak bertentangan dengan amalan ahlu madinah. Atau dikuatkan oleh dalil lain yang Qath’iy.
Walaupun demikian dalam satu sisi beliau sangat terpengaruh dengan penduduk Madinah, disisi lain beliau juga mengunakan maslahah mursalah dan istihsan sebagai landasan hukum. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh adanya beberapa perubahan keadaan kota Madinah pada zaman Imam Malik dengan keadaan kota Madinah pada zaman Rasulullah SAW., sehingga menurut pandangan Imam Malik tidak ada jalan yang harus ditempuh untuk mengatasinya, kecuali dengan jalan lain, yaitu menggunakan maslahah mursalah dan istihsan sebagai sumber hukum.


1.      Karya-karya Imam Malik, Murid-muridnya Serta Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya
Diantara karya-karya Imam Malik adalah kitab al Muwatha’ yang ditulis pada tahun 144H. Pendapat Imam Malik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al muwatha’ dan al mudawanah al kubra.
Kitab al muwathha’ mengandung dua aspek, yaitu hadis dan fiqih. Adanya aspek hadis iytu berasal dari Rasulullah, sahabat dan tabiiin. Hadis-hadis yang terdapat dalam al muwatha’ ada yang bersanad lengkap, ada yang mursal, ada yang muttashil dan ada pula yang munqathi’, bahkan ada yang balaghat yaitu suatu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerima hadis tersebut.
Adapun yang dimaksud kandungan dalam aspek fiqih karena kitab al muwathha’ itu disusun secara sistematika dengan bab-bab pembahasan seperti layaknya kitab fiqih. Setiap bab dibagi menjadi beberapa fasal yang setiap fasal mengandung fasal-fasal yang hampir sejenis, seperti fasal sholat jama’ah.
Diantara sahabat Imam Malik yang berjasa mengembangkan mazhab yaitu :
Ø  Usman ibn Ahkam al Juzami
Ø  Abd Rahman ibn Khalid ibn Yazid ibn Yahya
Ø  Abd Rahman ibn al Qasim
Ø  Asyhab ibn Abd Aziz
Ø  Ibn Abd al Hakam
Ø  Haris ibn Miskin.
Disamping Imam Malik sepanjang hayatnya tinggal di Madinah yang pada wktu itu merupakan sumber ilmu dan menjadi tujuan orang yang sedang menjalankan ibadah haji. Oleh karena itu sebelum tersebarnya mazhab Hanbali, mazhab Maliki menjadi mazhab satu-satunya yang dianut oleh masyarakat Hijaz. Dewasa ini mazhab Maliki dianut oleh masyarakat di kawasan Hijaz, Maroko, sebagian Afrika dan dataran tinggi Mesir. Bahkan mazhab hingga akhir tahun 1980 an menjadi mazhab resmi di kerajaan Kuwait.[24]
C.  Imam Syafi’i
      1.   Biografi Imam Syafi’I dan Latar Belakang Pendidikannya
                        Sebagaimana yang dikutip dari Dr. Huzaemah, Imam Syafi’I dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H. (767 M). Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’I wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’I ibn Saib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muththalib ibn Abd. al-Manaf ibn Qushay al-Quraisyiy.[25]
                        Ketika Ayah dan Ibu Imama Syafi’I pergi ke Syam dalam suatu urusan, lahirlah Syafi’I di Qazah, atau Asqalan. Ketika ayahnya meninggal, ia masih kecil. Ketika baru berusia dua tahun, Syafi’I kecil dibawa ibunya ke Makkah. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir.
                        Dalam asuhan ibunya, ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-Qur’an pada Ismail ibn Qastantin, qari’ kota Makkah. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Syafi’I pernah hatam al-Qur’an dalam bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.
                        Imam Syafi’I pergi dari Makkah menuju suatu dusun Bani Huzail untuk mempelajari bahasa Arab karena di sana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab yang fasih dan asli. Imam Syafi’I tinggal di Huzail selama kurang lebih 10 tahun. Di sana ia belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syi’ir-syi’ir dari Imru’u Alqais, Zuhaer dan Jarir. Dengan mempelajari sastra Arab, ia terdorong untuk memahami kandungan al-Qur’an yang berbahasa Arab fasih, asli, dan murni. Imam Syafi’I menjadi orang yang terpercaya dalam soal syi’ir-syi’ir kaum Huzael.
                        Sebelum menekuni fiqh dan hadist, Imam Syafi’I tertarik pada puisi, syi’ir dan sajak bahasa Arab. Ia belajar hadist dari Imam Maliki di Madinah. Dalam usia 13 tahun ia telah dapat menghafal al-Muthawaththa. Sebelumnya Imam Syafi’I pernah belajar hadist kepada Sufyan Ibn ‘Uyainah salah seorang ahli hadist di Makkah.
                        Menurut Khudhary Bek, sebelum Imam Syafi’I pergi ke Baghdad ia telah mempelajari hadits dari dua orang ahli hadits kenamaan, yaitu Sufyan ibn ‘Uyainah di Makkah dan Imam Malik di Madinah. Keduanya merupakan “Syaikh” Imam Syafi’I yang terbesar, sekalipun ada “Syaikh” yang lainnya.[26]
                        Menurut Ahmad Amin dalam Dhuha al-Islam, Imam Syafi’I belajar fiqh dari Muslim ibn Khalid al-Zanjiy seorang Mufti Makkah. Kemudian ia ke Madinah dan menjadi murid Imam Malik serta mempelajari al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya, sehingga Imam Malik melihat, bahwa al-Syafi’I termasuk orang yang sangat cerdas dan kuat ingatannya. Oleh sebab itu Imam Malik sangat menghormati dan dekat dengannya.[27]                                                                        
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’I mempunyai pengetahuan sangat luas dalam bidang lughah dan adab, di samping pengetahuan hadits yang ia peroleh dari beberapa negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang fiqh meliputi fiqh Ashab al-Ra’yi di Irak dan fiqh Ashab al-Hadits di Hijaz.[28]

2.   Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Syafi’I dalam Menetapkan Hukum Islam
                        Adapun aliran keagamaan Imam Syafi’I, sama dengan Imam Madzhab lainnya dari Imam-imam Madzhab empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibn Hanbal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu al-Hadist dan aliran Ahlu al-Ra’yi. Imam Syafi’I termasuk Ahlu al-Hadist. Imam Syafi’I sebagai imam Rihalah fi Thalab al-Fiqh, pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dan pergi ke Irak untuk menuntut ilmu kepada Muhammad ibn al-Hasan, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Karena itu, meskipun Imam Syafi’I digolongkan sebagai orang yang beraliran ahlu al-ra’yu tentu akan memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan hukum.
                        Di samping itu, pengetahuan Imam Syafi’I tentang masalah sosial kemasyarakatan sangat luas. Ia menyaksikan secara langsung kehidupan masyarakat desa (Badwy) dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Irak dan Yaman. Juga menyaksikan kehidupan masyarakat yang sangat komlpeks peradabannya, seperti yang terjadi di Irak dan Mesir. Ia juga menyaksikan kehidupan Zuhud dan Ahlu al-Hadist. Pengetahuan Imam Syafi’I dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. Hal ini memberikan pengaruh pula dalam madzhabnya.
                        Menurut Musthafa al-Siba’iy bahwa Imam Syafi’I yang meletakkan dasar pertama tentang aqidah periwayatan hadist, dan ia pula yang mempertahankan Sunnah melebihi gurunya, yaitu Malik bin Anas. Dalam bidang hadist, Syafi’I berbeda dengan Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Menurut Imam Syafi’I apabila suatu hadist sudah sahih sanadnya kepada Nabi SAW., maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan dengan amalan ahl- al-Madinah sebagaimana yang disyaratkan Imam Malik dan tidak pula perlu ditentukan syarat yang terlalu banyak dalam penerimaan hadist, sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Abu Hanifah. Karena itu, Imam Syafi’I dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah (penolong Sunnah).
                        Imam Syafi’I mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.
                        Adanya dua pandangan hasil ijtihad itu, maka diperkirakan bahwa situasi tempat pun turut mempengaruhi ijtihad Imam Syafi’I. Keadaan di Irak, Imam Syafi’I menela’ah kitab-kitab  fiqh Irak dan memadukan dengan ilmu yang ia miliki yang didasarkan pada teori Ahlu al-Hadist.
                        Qaul qadim Imam Syafi’I merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional dan fiqh ahl al-hadist yang bersifat “”tradisional”. Tetapi fiqh yang demikian, akan lebih sesuai denga n ulama-ulama yang datang dari berbagai Negara Islam ke Makkah pada saat itu, mengingat siyuasi dan kondisi Negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke Makkah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Kedatangan Imam Syafi’I kedua kalinya ke Irak hanya beberapa bulan saja tinggal di sana, kemudian pergi ke Mesir. Di Mesir itulah tercetus qaul jadidnya yang didiktekannya kepada murid-muridnya, qaul jadid Imam Syafi’I ini dicetusnya setelah bertemu dengan ulama Mesir dan mempelajari fiqh serta hadist dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’I merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak. Jika kandungan qaul jadid Imam Syafi’I ini adalah hasil ijtihadnya setelah pindah ke Mesir. Qaul jadidnya ini ditulis dalam kitab al-Umm.
Dr. Huzaemah mengatakan, Pokok-pokok pikiran Imam Syafi’I dalam menginstinbatkan hokum adalah[29]:
a.       Al-Qur’an dan al-Sunnah
Imam Syafi’I memandang al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan al-Qur’an, kecuali hadist ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadist mutawatir. Di samping itu, meskipun al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur’an.
 Walaupun Imam Syafi’I berhujjah dengan hadist ahad, namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Qur’an dan Hadist Mutawatir, karena hanya al-Qur’an dan hadist mutawatir sajalah yang qath’iy tsubutnya, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh bertaubat.
Imam Syafi’I dalam menerima hadist ahad mensyaratkan sebagai berikut:
1)      Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadist dari orang yang tidak dipercaya.
2)      Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
3)      Perawinya dhabith (kuat ingatannya).
4)      Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadist itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
5)      Perawinya itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.

b.      Ijma’
Imam Syafi’I mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujah dan ia menempatkan ijma’ ini sesudah al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi’I menerima ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Ijma’ menurut pendapat Imam Syafi’I adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’I mengakui, bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.
Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’I sebagai dalil hokum itu adalah ijma’ yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah SAW. Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma’ yang berstatus dalil hokum itu adalah ijma’ sahabat.
Imam Syafi’I hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hokum dan menolak ijma’ sukuti menjadi dalil hokum. Alasannya menerima ijma’ sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti, karena tidak merupakan kesepatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju
c.       Qiyas
         Imam Syafi’I menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dalam menetapkan hokum.
         Imam Syafi’I adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Di sinilah Imam Syafi’I tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalm bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Untuk itu Imam Syafi’I pantas diakui dengan penuh penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hokum dalam Islam sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.
Seperti pada Q.S. an-Nisa’, ayat 59[30]:


Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taati Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan kepada Rasul (Sunnah), Jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

3.   Karya-karya Imam Syafi’I, Murid-muridny serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya
                  Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Qur’an, bahwa karya Imam Syafi’I cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Syafi’I menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain-lain.
                  Menurut Dr. Huzaemah, Kitab-kitab karya Imam Syafi’I dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian[31]:
a.       Kitab yang ditulis Imam Syafi’I sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah (riwayat dari muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’ ibn Sulaiman).
Kitab al-Umm berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’I dalam al-Risalah.
b.      Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-Muzany dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari Kitab Imam Syafi’I: Al-Imla’ wa al-Amaly).
Kitab-kitab Imam Syafi’I, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:
1)      Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh (riwayat Rabi’).
2)      Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang di dalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
3)      Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdaoat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
4)      Al-Imla’.
5)      Al-Amaliy.
6)      Harmalah (didektekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
7)      Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
8)      Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
9)      Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’I tentang hadits-hadits Nabi SAW).
Kitab-Kitab Imam Syafi’I dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Irak, di Mesir dan lain-lain.
Penyebaran mazhab Syafi’I ini antara lain di Irak, lalu berkembang dan tersiar di Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’I ini tersiar dan berkembang, bukan hanya di Afrika, tetapi ke seluruh pelosok Negara-negara Islam, baik di Barat maupun di Timur, yang dibawa oleh para muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk Indonesia. Jika kita melihat praktek ibadah dan mu’amalah ummat Islam di Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab Syafi’i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor[32]:
a)      Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum Muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I dan setelah kembali ke Indonesia, mereka menyebarkannya.
b)      Hijrahnya kaum Muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang penting pula bagi tersiarnya mazhab Syafi’I di Indonesia. Ulama dari Hadhramaut adalah bermazhab Syafi’i.
c)      Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam menegaskan dan menetapkan mazhab Syafi’I menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa-mas akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab fiqh Syafi’iyyyah, seperti Kitab al-Thuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.
d)     Para pegawai jawatan dahulu, hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’I, karena belum ada yang lainnya.

D.  Imam Ahmad ibn Hanbal
      1.   Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal dan Latar Belakang Pendidikannya
                        Imam Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H./780 M. Tempat kediamannya ayah dan ibunya sebenarnya di kota Marwin, wilayah Khurasan, tetapi di kala ia masih dalam kandungan, ibunya kebetulan pergi ke Baghdad dan di sana melahirkan kandungannya.
            Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Hasan al-Syaibaniy. Ibunya bernama Syarifah Maimunah binti Abd al-Malik ibnSawadah ibn Hindun al-Syaibaniy. Jadi, baik dari pihak ayah, maupun dari pihak ibu, Imam Ahmad ibn Hanbal berasal dari turunan Bani Syaiban, salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung Arabia.
            Pada mulanya Imam Ahmad Ibn Hanbal belajar ilmu fiqh pada Abu Yusuf salah seorang murid Abu Hanifah. Kemudian ia beralih untuk belajar hadits. Karena tidak henti-hentinya belajar hadits, sehingga ia banyak bertemu para Syaikh Ahl al-Hadist. Ia menulis hadits dari guru-gurunya dalam sebuah buku, sehingga ia terkenal sebagai seorang Imam al-Sunnah pada masanya.
            Imam Ahmad ibn Hanbal belajar fiqh dari Imam Syafi’I, dan Imam Syafi’I belajar hadits dari Imam Ahmad ibn Hanbal. Ia menjelajah ke Kuffah, Bashrah, Makkah, Madinah, Syam, Yaman, dan Aljazirah untuk mengumpulkan hadits. Karena banyak negeri yang dikunjunginya dalam rangka mengumpulkan haist, maka ia mendapat julukan Imam Rihalah sebagaimana halnya Imam Syafi’i. Ia berhasil mengumpulkan sejumlah besar hadits-hadits Nabi. Kumpulan hadits-haditsnya itu disebut dengan  Musnad Imam Ahmad.
            Imam Ahmad mendapatkan guru-guru hadits terkenal, diantaranya adalah: Sufyan ibn Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad, dan Yahya ibn Qathan.
            Imam Ahmad adalah salah seorang murid Imam Syafi’I yang paling setia, sehingga ia tidak pernah berpisah dengan gurunya ke manapun guru pergi kecuali setelah Imam Syafi’I pindah ke Mesir.
2.   Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Menetapkan Hukum Islam
                  Ahmad Amin dalam Dhuha al-Islam menyimpulkan, bahwa sebenarnya fiqh Imam Ahmad ibn Hanbal lebih banyak didasarkan pada hadits, yaitu apabila terdapat hadist shahih, sama sekali tidak diperhatikan faktor-faktor lainnya dan apabila didapati ada fatwa sahabat tersebut diamalkan. Tetapi apabila didapati beberapa fatwa sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka dipilih mana di antara fatwa sahabat tersebut yang mendekati al-Qur’an dan Sunnah.[33] Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah. Dalam hal yang demikian, kedua masalah tersebut diriwayatkan oleh Ibn Hanbal, dalam arti kedua pendapat tersebut dipakai sebagai hujjah. Apabila didapati hadits mursal atau dha’if, maka hadits tersebut lebih dikuatkan daripada qiyas. Ia tidak menggunakan qiyas, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Ia juga tidak senang terhadap fatwa tanpa didasarkan pada atsar.
                  Adapun metode Istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah[34]:
a.       Nas dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu, lain tidak.
b.      Fatwa para Sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para Sahabt Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
c.       Fatwa para Sahabat Nabi yang timbul dalam perselisihan di antara mereka dan diambilnya yang lebih dekat kepada nash al-Qur’an dan Sunnah. Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi yang disepakati sesame mereka, maka beliau menetapkan hokum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah.
d.      Hadits mursal dan hadits dha’if
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahihah serta fatwa-fatwa sahabat yang disepakati dan diperselisihkan, maka beliau menetapkan hadits mursal dan hadits dha’if. Yang dimaksud dengan hadits dha’if oleh Imam Ahmad adalah karena ia membagi hadits dalam dua kelompok: shahih dan dha’if; bukan kepada: shahih, hasan, dan dha’if seperti kebanyakan ulama yang lain.
e.       Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash, baik al-Qur’an dan Sunnah yang shahihah serta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadits dha’if dan mursal, maka Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hokum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad ibn Hanbal pun menggunakan al-Mashalih al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad pernah menetapkan hokum ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hokum had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Begitu pula istihsan, istihsan dan Sadd al-Zara’I, sekalipun Imam Ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hokum.
3.   Karya-karya Imam Ahmad ibn Hanbal, Murid-muridny serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya
                  Menurut Dr. Huzaemah, Imam Ahmad ibn Hanbal selain seorang ahli mengajar  dan ahli mendidik, ia juga seorang pengarang. Ia mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut[35]:
a.       Kitab al-Musnad
b.      Kitab Tafsir al-Qur’an
c.       Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh
d.      Kitab al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur’an
e.       Kitab Jawabatu al-Qur’an
f.       Kitab al-Tarikh
g.      Kitab Manasiku al-Kabir
h.      Kitab Manasiku al-Shaghir
i.        Kitab Ta’atu al-Rasul
j.        Kitab al-‘Illah
k.      Kitab al-Shalah

Ulama-ulama besar yang pernah mengambil ilmu dari Imam Ahmad ibn Hanbal antara lain adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibn Abi al-Dunya dan Ahmad ibn Abi Hawarimy.
Tersiarnya mazhab Hanbali tidak seperti tersiarnya mazhab lainnya. Mazhab ini mulai tersebar di Kota Baghdad tempat kediaman Imam Ahmad ibn Hanbal, kemudian berkembang pula ke negeri Syam. Oleh karena para sahabat Imam Ahmad ibn Hanbal sebagian berada di Baghdad, maka berkembanglah mazhabnya dengan pesat di negeri ini yang disebarluaskan oleh murid-muridnya. Mazhab ini tidak berkembang ke luar negeri Irak, melainkan pada abad keempat Hijriyah. Kemudian berkembang ke Mesir pada abad ketujuh Hijriyah dan pada saat sekarang, pengikutnya makin sedikit.
Sekarang mazhab Hanbali adalah mazhab resmi dari pemerintah Saudi Arabia dan mempunyai pengikut yng tersebar di Jazirah Arab, Palestuna, Syria dan Irak.
BAB 3
KESIMPULAN

Mazhab merupakan hasil ijtihad dari seorang yang berkaitan dengan suatu masalah tentang hukum islam .
Ketika ingin bermazhab kepada suatu mazhab atau lebih , ada beberapa golongan yang mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan hal tersebut :
d.                  Golongan Pertama
Pada Golongan pertama ini , mereka beranggapan bahwasannya ketika sudah berpegang pada suatu mazhab , maka dia harus tetap berpegang teguh pada mazhabnya itu , sehingga tidak boleh untuk berpindah-pindah .
e.                   Golongan kedua
Pada golongan kedua ini , beranggapan bahwa berpindah mazhab itu tidak apa-apa  . asalkan itu memang baik dan tidak boleh hanya di ambil enaknya saja .
f.                   Golongan ketiga
Pada golongan ini memperbolehkan mengambil bermacam-macam mazhab walaupun hanya di ambil enaknya saja.
Dapat disimpulkan bahwa dalam mengambil hokum terdapat perbedaan-perbedaan sebagai daftar di bawah, yaitu[36]:
a.       Sumber Madzhab Hanafi :
1.      Al-Qur’an al-Karim.
2.      Sunnah Rasul yang sahih-sahih dan masyhur saja.
3.      Ijma’ sahabat Nabi.
4.      Qiyas (pendapat).
5.      Istihsan (pendapat).
b.      Sumber Madzhab Maliki :
1.      Al-Qur’an al-Karim.
2.      Sunnah Rasul yang sahih menurut pandangan beliau.
3.      ‘Amalan para Ulama ahli Madinah ketika itu.
4.      Qiyas (pendapat).
5.      Masalihul-mursalah (kepentingan umum).     
c.       Sumber Madzhab Syafi’I :
1.      Al-Qur’an al-Karim.
2.      Hasits yang sahih menurut pandangan beliau. (Hadits shahih mutawatir, hadits sahih-aahaad, hadits shahih masyhur).
3.      Ijma’ para Mujtahid.
4.      Qiyas. 
d.      Sumber Madzhab Hanbali :
1.      Al-Qur’an al-Karim.
2.      Ijma’ sahabat Nabi.
3.      Hadits, termasuk hadits Mursal dan Hadits Dha’if.
4.      Qiyas (pendapat).











DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra, Muhammad. 1996. Tarikh al Madzahib al Islamiya. Mesir : Dar al Fikr al Araby.
Ahmad Faidy Haris . 2012. The Spirit Of Islamic Law ( Membongkar teori berhukum statis
             menuju hukum islam dinamis ). Yogyakarta : SUKA Press , 2012
Abdul wahab Afif . 1995. Pengantar Studi Perbandingan Mazhab  . Jakarta : Darul Ulum Press
Abbas, K.H. Sirajuddin.1972.Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’I, Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, al-Qahirah: Maktabah al-Nadhah al-Mishriyyah, 1965
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Woman, Bogor: PT Sygma
            Examedia Arkanleema, 2007
Fakhruddin, 2009. Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Empat Mazhab Fiqih. Malang: UIN Malang Press.
Hasan, M Ali. 1996. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khudhary Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Singapura: al-Haramain, ttt
Tahido Yanggo, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos.
Tahido Yanggo, Dr. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, 1997
Syukur,Asywadie.1994.Perbandingan Mazhab.Surabaya : Bina Ilmu


[1] Sheikh Muhammad Sultan Al-Ma’soomi Al-khajnadee.Following a Mazhab.  (Diposting di http://www.thereligionislam.com/islamicideology/followingamazhab.htm ). 2-26-2014 11.59 AM
[2] Anonim.Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Mazhab Fiqih dan Ushul Fiqih . http://henker17.blogspot.com/2013/09/sejarah-kemunculan-dan-perkembangan.html. 2-26-2014 12.30
[3] Asywadie Syukur , Perbandingan Mazhab .( Surabaya . Bina Ilmu . 1994 ) hlm 31
[4] M.Ali Hasan , Perbandingan Mazhab . ( Jakarta , Raja Grafindo Persada , 1995 ) Hal 86
[5] Ahmad Faidy Haris , The Spirit Of Islamic Law ( Membongkar teori berhukum statis menuju hukum islam dinamis ). ( Yogyakarta : SUKA Press , 2012 ) hal 15
[6] Abdul wahab Afif , Pengantar Studi Perbandingan Mazhab ) . ( Jakarta : Darul Ulum Press , 1995 ) hlm 75-78
[7] Huzaemah Tahido Yanggo , Pengantar Perbandingan Mazhab . ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu , 1996 ) Hal 78
[8] Ibid hlm 86
[9] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hlm. 184
[10] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos, 1997. Hal. 96.
[11] Fakhruddin, Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Empat Mazhab Fiqih. Malang: UIN Malang Press, 2009. Hlm 145
[12] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hlm. 186
[13] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hlm. 188
[14] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hlm. 192
[15] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hlm. 194

[16] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos, 1997. Hal. 102

[17] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos, 1997. Hal. 103
[18] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos, 1997. Hal. 105
[19] Muhammad Abu Zahra, Tarikh al Madzahib al Islamiya. Dar al Fikr al Araby. Hlm 161
[20] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hal.200
[21] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hal.203
[22] Fakhruddin, Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Islam. Malang : UIN Malang Press, 2009. Hlm. 121
[23] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos, 1997. Hal. 107
[24] Fakhruddin, Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran Islam. Malang : UIN Malang Press, 2009. Hlm. 122
[25] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997) hlm. 120-121.
[26] Khudary Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Singapura: al-Haramain, tth)
[27] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (al-Qahirah: Maktabah al-Nadhah al-Misshiriyyah, 1965)
[28] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997) hlm. 120-123.
[29] Ibid hlm. 128-131.
[30] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Woman (Bogor: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2007) hlm.87
[31] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997) hlm. 134-137.
[32] Ibid hlm. 136-137
[33] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (al-Qahirah: Maktabah al-Nadhah al-Misshiriyyah, 1965)
[34] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997) hlm. 142-143.
[35] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997) hlm. 144-145.
[36] K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’I (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972) hlm.108-109